Menonton film-film Palem Emas
selalu sisakan sensasi lain yang lebih. Lebih persuasif supaya peka dengan
isu-isu sosial. Umumnya seperti itu. Tak lainlah pengalaman itu saya dapatkan
ketika menyaksikan L’enfant. Judul
film ini sudah cukup membantu kita menebaknya tentang apa. Menjual bayi.
Terkisahlah kisah kasih sepasang kekasih muda di negeri romantis (baca:
Prancis). Mereka punya seorang bayi mungil polos yang baru berusia (kalau saya
tidak silap) 9 hari. Keduanya hidup
lepas, tak terkekang, hidup bebas laiknya impian bohemian.
Konflik menyibak tatkala si
cowok, tanpa sepengetahuan si cewek, bertransaksi dengan “makelar” bayi.
Mekanisme transaksional mereka berjalan secara “ilegal”. Kontak hanya melalui
suara, sepakat untuk tanpa pernah saling berpandangan, tanpa melihat satu sama
lain, antara si penjual dan si pembeli. Konflik-batin internal sudah mulai
memanas beberapa saat sebelum si cowok menjual darah dagingnya sendiri. Konflik
kian meruncing ketika si cewek diberitahu si cowok bahwa bayi mereka sudah “terjual”.
Mulai dari titik di mana
penonton mengetahui isu sosial tentang apa yang diangkat oleh film ini, L’enfant bertindak sebagai artikel
naratif-deskriptif. Tanpa bermaksud analitis, film ini mampu dengan kuatnya
mengajak kita untuk berdiam sejenak. Mengamati fenomena yang ada. Perasaan
prihatin, iba, jengkel, dan tanda tanya bercampur aduk. Efek dramatisasi dalam
film ini memang tak sebegitu festivalnya, alias masih terendus aroma film model
3 babak meskipun hanya tipis. Oleh karenanya, film ini masih lumayan bisa dinikmati
oleh audiens luas. [B+] 01/03/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar