Saat sebuah film berjalan
lelet, ada dua kemungkinan terbesar respons dari penonton: kesal-terus-meninggalkan
atau mau sabar-setia mengikutinya hingga pungkasan guna mencari keutamaan film.
Anatolia, bagi saya, masih bisa terkategorikan
pada kelompok yang kedua. Rekaman gambar panorama menjadi menu-menu utama
sinematografi film ini. Soroti laju 3 kendaraan melintasi kelokan-kelokan
dataran berbukit tandus. Ekspedisi dimulai pada petang hari, ketika lampu sorot
kendaraan sudah harus dinyalakan, berakhir pada siang keesokan harinya. Di
tengah perjalanan, rombongan berisikan regu penyidik (jaksa, polisi, dokter,
prajurit, dll.) ini sempat menginap di rumah seorang kepala rukun warga.
Yang mereka lakukan sepanjang
perjalanan adalah mencari lokasi pasti TKP tindak kriminal dua orang yang tak kita
kenal latar belakangnya. Tepatnya mencari lokasi di mana korban pembunuhan
dikubur. Satu pelaku kriminal itu kurus, misterius dengan tampang yang masih
bisa dilayakkan sebagai pelaku kriminal, sedangkan satu yang lainnya tambun
tapi sama sekali paras dan perangainya tak mencerminkan aura penjahat. Kriminalitas
apa yang sedang dikaji oleh film ini pun tak diurai sejak awal. Saya sempat
bingung dan pasrah… Ada apa sebenarnya? Satu hal pasti yang jadi magnet di
tengah kebingungan menghadapi keleletan film ini adalah sajian gambar-gambar
apik. Meskipun banyak dialog berbasis kehidupan yang terlontar di antara anggota
rombongan tersebut, saya tetap merasa bahwa terlalu kurang alamiah. Obrolan
mereka terlampau filosofis.
Save
the best for last,
itu ungkapan tepat saya ajukan untuk film ini. Di paro akhir film, makin fokus
pandangan saya. Film Turki ini memosisikan plot sebagai media penyampaian
cerita saja. Padahal apa yang ingin ditampilkan, jauh lebih berbobot dan
introspektif ketimbang sekadar teknis prosedur investigasi. Sebuah kenyinyiran.
Nyiyir terhadap kelemahan-kelemahan manusia. [B+] 11/03/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar