Senin, 18 Maret 2013

Resensi Film: Vera Drake (2004)

Ia datangi rumah dari pintu ke pintu, menyapa setiap orang sebegitu ramah dan hangatnya. Di dalam keluarganya, ia idola siapapun. Seorang ibu yang perhatian, isteri yang setia, warga penolong. Siapa yang sangka, dalam suatu perayaan-kecil acara keluarga di ruang makan tiba-tiba pintu rumahnya diketuk oleh seregu polisi yang sedang mencari Vera Drake. Iya, benar itu memang nama dia. Ada kesalahan apa gerangan? Semua orang yang ada di rumah itu tercengang, penasaran. Perasaan mereka membuncah.

Setelah sekian lama Vera Drake sukses menutupi praktik aborsi-ilegal panggilannya, pada akhirnya terbongkar juga gara-gara seorang pasien mengalami sakit yang hampir berujung pada kematian. Itulah sebab mengapa polisi mencari dan menangkapnya. Apa yang saya tulis sebagai sinopsis ini bukanlah membongkar segala plot film. Tenang saja. Itu baru awal… Film ini benar-benar drama tentang dua sisi cerita. Si strada, Mike Leigh, sangat berhati-hati dan secara brilian bersikap obyektif. Ditandai dengan meskipun ibundanya seorang bidan, namun Leigh tak ingin bersikap menyalahkan secara hitam-putih pihak manapun. Bahkan dalam film ini saya tak merasa ada pembahasan berkepanjangan tentang salah-benarnya aborsi.

Saya mulai kenal strada yang satu ini sejak Happy-Go-Lucky kemudian diikuti Another Year dan sempat membaca keunikan dirinya lewat tulisan resensi Leila S. Chudori di Majalah Tempo. Ia dikenal sebagai strada yang membuka diri pengembangan karakter lewat diskusi dengan para pemerannya. Pendalaman karakter memang selalu menjadi kehebatan film-filmnya. Dengan tema yang sederhana dan tak bombastis ala Holiwut, karya Leigh selalu punya daya tarik tersendiri. Imelda Staunton menjadi bukti utama pendalaman karakter dalam film ini. Perannya sangat memukau. Transisi ekspresi, terutama ketika ia mulai ditangkap polisi, terasa begitu meyakinkan. Dari yang tadinya cerah tanpa beban menjadi syok, risau penuh penyesalan.

Drama-drama Inggris memang umumnya terkesan kolokial, film ini pun begitu. Justru hal ini menuntun kita pada efek simpati yang lebih awet. Terbeber di dalamnya sudut pandang dari banyak pihak. Proses menyalah-benarkan itu satu hal, namun proses mendengar dan menyelaminya itu lain perkara. Di sini obrolan Oprah berasa amatir. Saya terkesan benar pada adegan terakhir dalam film, yang mana itu sangat mewakili diri saya ketika merampungkan film ini. [A-] 17/03/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar