Rabu, 22 Mei 2013

Resensi Album Musik: Daft Punk - Random Access Memories (2013)

Duh, menyimak album musik gres yang satu ini mengingatkan kembali saya ke masa-masa saat pertama-tama mengenal musik-musik elektronika. Bagaimana saya mulai terperdaya oleh alunan bunyi-bunyian sintetis. Benar-benar, ini album luar biasa! Konsepnya matang. Sebagai album utuh, ia membawa elektronika ke dalam nuansa jazz dengan kadar yang sangat nyaman. Tiga belas lagu berjajar, durasinya paling irit 4 menitan, selebihnya boros. Malahan kalau dirata-rata, bisa masing-masing lebih dari 5 menit dengan rekor terpanjangnya dipegang oleh salah satu judul lagu favorit saya, Giorgio by Moroder, yakni selama 9 menit lebih.

Lagu single pertamanya, Get Lucky, sangat mencerminkan harmoni album ini. Anda dengar satu lagu itu saja, kalau suka maka hampir dipastikan bakal cocok dengan keseluruhan album ini. Daft Punk sebagai duo DJ asal Prancis punya gaya dan dunia sendiri yang susah untuk diintervensi. Kuat sekali karakter mereka, dengan mengangkat kembali musik dansa era sebelum 90-an tapi dibuatnya menjadi lebih dinamis, khas, dan asyik. Sebenarnya, sudah cukup sering saya kecewa dengan album-album Daft Punk sebelumnya. Tapi yang satu ini benar-benar menyegarkan. Saya seperti sedang diguyur kucuran air shower di toilet hotel (karena saya jarang mengalaminya, seringnya mandi ala bergayung, he3…). Satu album mereka yang paling saya suka sebelum Random adalah Discovery yang mana di dalamnya nangkring lagu-lagu besar mereka seperti Digital Love, One More Time, dll.

Dengan rilisnya album ini, saya menyejajarkan ia dengan album Discovery. Susah untuk mengesampingkan Discovery. Buat saya, album yang populer itu tak solid namun beberapa single utamanya terlampau luar biasa dan masuk ke dalam karya-karya besar Daft Punk. Sedang di dalam Random justru secara parsial tak ada yang sombong. Semua lagu konsisten mencuri indera pendengar, tanpa menjadikannya masing-masing spesial bak berlian di antara sekam.

Ini… baru hiburan! Terima kasih Daft Punk. Kalian tak perlu sering-sering mengeluarkan album, saya akan sabar menunggu karya-karya macam ini. Melalui Random, mereka jadi inovator musik dansa. Wahai para penikmat musik elektronika, telah meluncur satu lagi album musik-dansa yang memuaskan! [A-] 21/05/13

Senin, 20 Mei 2013

Resensi Film: Rectoverso (2013)

Singkat komentar, saya suka film ini. Ia berasal dari 5 cerpen karya Dee yang diangkat ke media film oleh 5 strada-srikandi amatir lewat sebuah film omnibus berdurasi kurang dari 2 jam. Buat saya, ia sangat nyaman disimak. Tak ada satu pun strada yang berasa ingin tampil paling hebat dan melumat lainnya. Adanya, malah mereka saling menyokong supaya film lancar mengalir dan solid. Beberapa adegan klimaksnya mampu terbangun secara gemilang dalam kesahajaan. Salut!

Sebagai film keroyokan, saya benar-benar menghargai Rectoverso. Terasa sekali semua stradanya suka dan ingin menghormati karya-karya Dee. Sebagaimana subjudulnya, lima kisah yang diangkat dalam film ini sebenang merah: “Cinta yang tak Terucap”. Ada kisah gadis kos yang digandrungi oleh kakak-beradik putera ibu kos, ada kisah tentang gadis yang kerap diselimuti isyarat (berfirasat kuat), ada gadis yang baru menyadari bahwa betapa ia selama ini selalu keliru mencintai orang, ada gadis yang sedang dihadapkan pada arti kesetiaan, dan ada gadis yang mencintai seorang pria yang tak mungkin bisa dimiliki.

Dari 5 petilan kisah yang ditawarkan beserta komposisi strada dan pemilik ceritanya, maka langsung bisa kita simpulkan bahwa ini film demokrasi perempuan (dari, untuk, dan oleh perempuan). Tapi bukan bias jender yang terjadi di dalamnya. Bertebaran diskusi filsafat populer di setiap cerita yang diangkat. Semua tersampaikan secara ala kadarnya tanpa berpretensi tampil necis. Eksekusi pun tak neko-neko, tak ada penyuntingan kosmetikal yang berarti. Ilustrasi musik yang menemani sangatlah Dee, akustik bersyair dengan diksi-diksi agak liar tapi disuarakan secara lembut membuai. Kisah favorit saya di film ini jatuh pada Malaikat Juga Tahu, dan pemeran dengan akting paling prima di film ini dibawakan oleh Lukman Sardi.

Walaupun, tak cukup mencerminkan keindonesiaan, saya tak malu Rectoverso dikirim ke Festival Film Cannes menemani Sang Penari ketika film-film domestik terkini masih jarang yang mengangkat keunikan, kekhasan dan eksotisme Indonesia. [B/A] 19/05/13

Resensi Film: To the Wonder (2013)

Saya mengenal strada Terrence Malick sejak menonton film berpredikat Palem Emas-nya, The Tree of Life. Saat menonton Tree, ada ajakan kuat buat saya untuk mengapresiasinya. Sinematografi indah yang matang, gaya penceritaan yang puitis, dan tema falsafah hidup yang mengguncang. Makanya, saya penasaran juga untuk melihat karya anyar Malick, To the Wonder, yang bertemakan cinta dibintangi oleh si strada Argo, Ben Affleck.

Setelah melumat habis film ini, saya malah terburamkan. Makin tak jelas. Dengan gaya bertutur yang masih khas, film ini berawal dengan sajian kehangatan sentuhan demi sentuhan sepasang kekasih yang sedang memadu asmara. Secara lambat dan pasti, film menyeret kita pada konflik cinta. Di tengah-tengahnya muncul karakter-karakter baru yang menurut saya tak cukup penting. Tapi, mungkin mereka sangat penting maknanya bagi Malick. Salah satunya ada seorang pendeta (dibintangi Javier Bardem) yang berdialektika tentang kehampaannya.

Kalau saya menyingkat sinopsis Wonder, maka jawabannya adalah film ini tentang pasang-surut cinta. Dibilang film nihilistik, bukan. Dikata spiritual, malah terasa semu. Saya hanya kurang paham saja, selain menikmati indahnya gambar-gambar yang tersaji. [C] 19/05/13

Jumat, 17 Mei 2013

Resensi Film: Miss Pettigrew Lives for a Day (2008)

Menerjemahkan tentang cinta sejati ke dalam sebuah film komedi romantis cukup sering mudah ditemui. Miss tak berusaha mendobrak tradisi yang ada, malahan ia tak muluk-muluk. Bercerita lewat seorang “emak-emak” pengasuh anak yang seharian menjadi “peri cinta” bagi majikannya. Untuk ukuran sebuah film biasa atas nama kurang terkenal dan dikenal maka film ini cukup tak biasa. Ya, apalagi kalau bukan karena plotnya yang hanya berjalan sehari semalam saja. Biasanya yang aneh-aneh begini miliknya film festival.

Karakter utama bernama Miss Pettigrew yang diperankan oleh Frances McDormand menjadi jembatan kultur. Ia menengahi mentalitas konservatif dengan liberal. Ironisnya, sebagai jembatan ia belum cukup menuai panenan kebaikannya. Si majikan (Amy Adams) doyan mengejar gemerlapnya dunia hedon. Si Miss Pettigrew coba mentransferkan ilmu dan pengalaman hidupnya ke si majikan secara komikal.

Dalam film yang terbilang kecil dari segi popularitas ini, divisi aktingnya saya acungi jempol campur keplok-keplok (tepuk tangan). Pemilihan pemeran dan eksekusinya oke punya. Tak ada yang tampil normal atau realis, semua ada aksennya. Membuat film ini jadi punya daya tawar. Tapi meski film ini kecil, lantas tak membuat saya memaklumi segala kekurangannya begitu saja. Buat saya, film ini kurang ndagel (melucu) dan cenderung terlalu mudah ditebak alurnya padahal saya termasuk penikmat film yang jarang menonton film-film komedi, terutama kategori romantis.

Saya rindu dapat film kecil, merendah, dan malu-malu namun ternyata luar biasa sensasional (beberapa di antaranya seingat saya Dear Frankie, Jude). Dan Miss belum termasuk ke dalam kategori itu. [C+] 16/05/13

Resensi Film: Frida (2002)

Dari dulu saya menahan diri tonton film ini. Mengapa? Saya kira, film ini agak sinting, aneh pol, dan sejenisnya. Entah mengapa saya bisa berasumsi demikian. Tanpa mengenal figur nyata Frida Kahlo sebelumnya, saya dibuat agak simpati oleh film ini. Yang membuat saya geregetan sejak awal ketika menonton film ini adalah kenapa filmnya berbahasa Inggris. Saya membatin, maksa sekali padahal malahan lebih eksotis jika pakai bahasa asli alias Spanyol versi Mexico (dibaca: Mehiko, he3…).

Kejutannya, film ini tak seperti yang saya kira. Frida kreatif dan eksperimental. Saya jadi dibuat asyik saja menikmatinya. Mengenal Frida secara jenaka dan santai dengan sedikit meledak-ledak. Tapi tak mengurangi unsur dramatik yang pastinya ditunggu-tunggu para pemuja film mellow. Saya tak terharu, sama sekali. Menyaksikan film ini seperti ada satu bagian yang menjadi magnet kuat. Seperti terselubung. Saya langsung terhipnotis dengan pesan “alone in pain”. Tak ada seorang pun yang benar-benar bisa menemani kita saat rasakan sakit. Beuh, sadis!

Frida, si pelukis cewek dari Meksiko yang menikahi pelukis terkenal Diego Riverra si flamboyan milik banyak wanita. Diego tak bisa dimiliki secara utuh. Ia pemuja dan dipujai para wanita. Bukan karena tampangnya, melainkan karena kemampuan ia menyentuh rasa berbalutkan humor memikat. Frida sudah menyadari konsekuensi itu sejak awal sekali. Tapi tentu saja bukan figur nyata yang menarik diceritakan jika tak punya tragedi hidup penyayat hati.

Musik iringan yang sangat latin sekali sayang tidak dibarengi dengan pemakaian bahasa Spanyol dalam dialog. Itu satu-satunya anakronisme yang saya temukan mengganggu satu film berwarna kuat ini. Selebihnya, tak perlu saya ributkan. Di film ini, totalitas Salma Hayek dahsyat betul. [B/A] 16/05/13