Senin, 23 April 2012

Resensi Film: Taxi Driver (1976)

Dulu saya sempat membaca skripsi/tesis Seno Gumira Adjidarma yang dibukukan. Pokoknya tentang menengok skenario film terbaik FFI dari tahun ke tahun. Nah, di situ ada judul film Taksi dibintangi pasangan Rano Karno dan Meriem Bellina. Setelah mendapat judul Taxi Driver dari referensi teman, saya kontan berpikiran jangan-jangan Taksi-nya Rano merupakan jiplakan Taxi Driver? Kalau berhadapan ma film-film Indonesia saya bawaannya suudzon mulu. Mungkin juga efek traumatis dari beberapa judul film dan sinetron. Setelah berhasil menuntaskan Taxi Driver dan membaca ulang sinopsis kisah Giyon si sopir taksi dan Desi dalam drama Taksi, ternyata keduanya berbeda. Syukurlah… 


Taxi Driver termasuk film terkenal, banyak disanjung, dan jadi acuan. Entah karena faktor apa, tapi jelasnya kita harus melihat secara kontekstual, yakni seusai jiwa zamannya waktu itu. Sekilas babak awal film langsung ingatkan saya pada film-film macam Driver dan A Blueberry Night. Bukan perkara ceritanya, melainkan warna desain produksi cenderung gelap dengan pilihan tipe warna violet berpendar. Sangat khas pemandangan malam hari di bilangan plesiran kota macam bar, diskotek, dsb. Bukan tanpa maksud tentu Scorsese meramunya demikian. Kisahnya sendiri berpangkal pada sosok pemuda rupawan dengan segala misteri di dalamnya. Tak banyak kata, terkadang sinis, ada unsur kengerian jika lama-lama kita melihatnya. Karakter misterius yang diperankan De Niro itu bernama Trevor. Ia mengaku insomnia, butuh kerja tambahan, dan kesepian. Makanya ia melamar sebagai sopir taksi supaya sekalian dapat uang. 


Tak semudah membalikkan telapak tangan untuk selesaikan masalah pribadinya. Walau menjadi sopir taksi shift malam termasuk memasuki daerah hitam sekian hari bahkan masuk sebulan pun Trevor tetap terobati. Ia tetap saja merasa ajeg, monoton, dan sepi. Sejak titik inilah lalu penonton diajak berdialog mengenai apa akar permasalahan Trevor dan bagaimana solusinya. Kalau saya ditanya film ini bergenre apa tentu akan didapati waktu yang agak lama serta lamban ketika menjawabnya. Saya bisa bilang drama, ya karena film ini bukan suguhan spesial aksi baku hantam atau tembak ledak. Saya tambahi kata kriminal supaya lebih menggarisbawahi subtema dalam film ini, biar tak dikira drama menye-menye. Sebuah drama-kriminal. 


Boleh saya bilang walaupun film ini tak terasa inspiratif ketika kita menontonnya, namun berimbas panjang bekasannya. Alurnya santai, berjalan normal, tak terburu-buru, dan alamiah. Hampir saya merasa bukan produk Hollywood, lantaran premis masalahnya kurang lugas. Namun di balik segala faktor ketenangan dan tak tertebaknya itu, Taxi Driver padat. Ia menggambarkan karakter Trevor sebagai pemuda insomnia sampai-sampai frustrasi gemes atas sakitnya lingkungan. Tapi emoh masuk pelarian lembah hitam, lebih-lebih emoh hidup sekadar numpang lewat doang. Ia lebih memilih berbuat sesuatu. Apabila disadari bukankah kita sebagai penonton juga hidup dalam lingkungan seperti itu? Taxi Driver jelas salah satu karya tajam dari sineas tulen Martin Scorsese. [B/A] 22/04/12

Selasa, 17 April 2012

Resensi Film: Laputa, Castle in the Sky/Tenkû no shiro Rapyuta (1986)

“Apa artinya jadi raja jika kerajaan telah hancur?”
Di tengah-tengah posisi terdesak, seorang gadis kecil berani berujar demikian terhadap orang sebangsanya yang mendadak ingin menguasai tanah asal setelah sekian generasi ditinggalkan. Saya seperti kehabisan kata-kata memuji karya Hayao Miyazaki. Karya-karyanya selalu relevan diputar kapanpun. Bukankah itu nilai unik bagi karya-karya melegenda. Aneh juga rasanya ketika saya melihat film kartun 2 dimensi ini ketika mengetahui diproduksi di tahun ketika saya lahir dan sekarang masih nyambung dengan situasi-kondisi sekitar. Apa selama ini tak ada perubahan atau saya yang salah menginterpretasikannya?

Laputa itu nama sebuah kastil mengambang di langit. Konon, di sana banyak sekali harta-karun. Sudah sekian lama keberadaan kastil itu disangsikan kebenarannya. Hanya beberapa yang masih menaruh perhatian pada penemuan Laputa. Mereka di antaranya: seorang ilmuwan gila penemuan, kawanan perompak udara, dan komplotan militer rakus harta karun. Dalam film ini, di antara mereka bertiga tak ada yang menjadi tokoh protagonis, malahan terjadi konflik kepentingan di antaranya. Kalau Anda suka menonton karya Hayao Miyazaki, pasti bakal bisa menebak siapa tokoh protagonisnya. Iya, pasangan bocah cowok-cewek yang tak punya kepentingan apapun terkait Laputa selain memperjuangkan keselamatan satu sama lain.

Di Indonesia atau bahkan di dunia, perfilman hampir dikuasai Hollywood sehingga selera mereka menyetir selera dasar penikmat film. Jadinya akan susah membuka diri nikmati karya-karya kurang-Hollywood. Pola skenario tiga babak, adegan besar satu per satu terjadi, ditutup akhir bahagia tentu menjadi formula wajib. Nah, dalam Laputa atau sejumlah karya Hayao Miyazaki saya merasa diajak bernafas nikmati tiap detik yang Tuhan anugerahkan kepada kita. Betapa tidak? Ya karena tidak semua adegan besar atau penting bertubi-tubi disusun Hayao guna memuaskan hasrat penonton. Jangan salah menilai bahwa itu keteledoran atau kemubaziran editing. Ada kalanya dalam beberapa adegan yang dirasa “tak penting itu” kita diajak berinteraksi dengan alam, yang mana sekarang kian jarang dilakukan. Lagu penutup film pun seraya dibuat mengajak kita mau menurunkan ego menyatu dengan alam dan sesama makhluk. [B+] 15/04/12

Resensi Film: Kramer Vs. Kramer (1979)

Film ini lepas rindu saya menonton film drama rumah tangga rebutan hak asuh anak melalui meja persidangan. Entah berapa banyak judul film bertopik serupa diproduksi Hollywood atau industri perfilman Indonesia. Saya membayangkan suami-isteri bertikai di sini diperankan oleh Rano Karno dan Meriam Bellina, jika diadaptasi dalam versi Indonesia.

Lewat poster filmnya, saya tahu film ini mendapat predikat film terbaik Oscar. Kala itu, mungkin saja film revolusioner dari segi teknis belum banyak diproduksi makanya yang diganjar hadiah Oscar waktu itu film drama berintensitas plot linier kuat, tanpa neko-neko. Kisahnya fokus pada tiga karakter utama: suami, isteri, dan anak. Melalui kemerah-merahan dan berkaca-kacanya mata Meryl Streep di hampir sepanjang film, sangat mudah bagi kita sebagai penonton menangkap dialog kebatinan bahwa sedang terjadi tekanan jiwa dalam dirinya. Kemudian masuklah karakter suami (Dustin Hoffman) yang bersemangat, ringan beban, seolah tak pernah gubris apapun selain makanan bernama pekerjaan. Dan tak ketinggalan ada seorang lagi, yakni putera mereka yang terlanjur dekat dengan sang bunda.

Mereka sebuah keluarga kecil yang tinggal dalam sebuah flat di tengah kota tersibuk di dunia, New York. Suami-isteri itu pasangan seniman grafis. Film berangkat tepat di saat kesabaran si isteri habis. Secara langsung berhadap-hadapan dengan si suami, ia nyatakan mau pergi tanpa memberi tahu ke mana dan kapan akan kembali. Ia menitipkan putera kesayangan pada si suami. Malam sebelum ia pergi pun sempat mengungkapkan rasa sayang pada putera kesayangan ketika sedang meninabobokan, sebagai pengalihan ucapan pamit.

Sebuah tanda tanya besar tentang konflik apakah yang melanda pasangan ini menjadi pikatan Kramer Vs. Kramer. Mengapa bisa sampai si isteri memilih tinggalkan suami dan putera tanpa jelaskan alasan dan terkesan begitu saja. Satu per satu lembaran friksi akan terurai, hingga tibalah masa persidangan perebutan hak asuh anak. Bagi saya pribadi, ending film jadi tak begitu penting karena ada hal menarik yang utama selain itu. Apalagi kalau bukan tentang perspektif konflik-idealisme pasutri. Banyak pertanyaan mengemuka terkait itu, seperti mengapa jika memangnya saling sayang tapi malah saling bertikai dan menyakiti? Tidakkah mereka memikirkan hak buah hati mereka?

Saya agak heran ketika film ini memilih jenis pungkasan yang kurang Hollywood. Tumben. Sebuah drama pahit-manis dengan topik bombastis namun dikemas membumi. Tanpa kualitas pemeranan Streep-Hoffman (terutama selama adegan persidangan) ditambah juga acting si bocah, saya agak meragukan film ini bisa tampil cukup kuat. [B] 15/04/12

Kamis, 12 April 2012

Resensi Film: Toy Story 1 (1995)

Konon ada orang yang tak suka personifikasi pada benda-benda mati. Untung saja saya tak termasuk golongan tersebut. Kalau terpaksanya iya, mungkin saja saya takkan pernah mampu nikmati trilogi CGI popular nyaris legendaris, Toy Story. Bahkan, jika masih ada sekuelnya saya tak sungkan antre beli tiket nontonnya. Salut saya haturkan untuk kreator film keluarga dari karakter boneka dan mainan ini. Mungkin saja, boneka dan sejenisnya merupakan produk kapitalis masif ditujukan konsumen kaya. Namun kita bisa juga mengandaikan boneka sebagai representasi teman atau karib bocah di kala ingin dikancani.

Dulu saya pernah menulis resensi tentang Toy Story 2. Di ulasan itu, saya menulis belum lengkap menonton seri Toy Story. Yang pertama saya tonton merupakan seri mutakhir yakni ke-3, dimana saya jatuh hati pada perpaduan hiburan-humanisnya. Tentu setelah menonton seri ke-3 dan ke-2 saya tak ingin ketinggalan seri orisinilnya. Dan setelah saya tonton, ternyata secara supermantap saya ikrar Toy Story merupakan awal sebuah waralaba hebat dari Disney-Pixar. Seri ke-3, menyentuh. Seri ke-2, asyik. Seri ke-1, hangat. Kartun ini akan selalu mendapat tempat di jajaran CGI favorit saya. Salam, howdy Woody! [B+] 11/04/12

Minggu, 08 April 2012

Resensi Film: Unstoppable (2010)

Mau film tegang-bencana seru tak kacangan? Mmm, film ini bisa jadi opsi. Saya katakan demikian karena stradanya Tony Scott (The Taking of Pelham 123) membawa Unstoppable macam film kelas dua naik ke level sedikit di atasnya. Berbeda dengan Pelham 123 yang plotnya sarat pesan dan terkonsep karena diadaptasi dari satu judul buku, maka Unstoppable lebih kepada dramatisasi rekonstruksi atas sebuah kejadian nyata.

Berkisah tentang kereta api bermuatan banyak gerbong kargo mudah meledak yang meluncur deras tanpa masinis ataupun satupun awak. Kereta itu mengancam kereta-kereta di jalur utama yang berlawanan arah dan keselamatan publik daerah pemukiman. Sepanjang film, kita disuguhi beragam aksi penyelamatan. Tentu pula beberapa polesan drama yang menurut saya tetap menjadi PR Tony Scott untuk mampu menyatukan secara mulus dengan aksi tegang ciamiknya.

Akting Danzel Washington tak begitu curi perhatian di sini, menurut saya malah tak masalah kalau diperankan oleh aktor lain. Dalam film konsep kejar-kejaran waktu minus drama berarti seperti ini kualitas akting tak cukup mendapat porsi lebih. Lebih dibutuhkan kepiawaian sinematografi, editing, dan musik latar. Untuk ketiga aspek tersebut, Unstoppable cukup memadai. Okey, mangga (Ina: silakan) pilih film ini untuk seru-seruan bareng. Tak perlu anggap serius, meski berdasar kejadian nyata. Meminjam pendapat salah satu karakter dalam film ini, Unstoppable film tentang: kombinasi human-error dengan bad-luck. [B-] 08/04/12

Resensi Film: The Motorcycle Diaries/Diaries de Motocicleta (2004)

Sebuah film tentang kesadaran lewat perspektif salah satu tokoh sejarah yang berpengaruh di abad ke-20, Ernesto “Che” Guevara. Sudah saya dengar banyak sekali pujian terhadap film ini. Saya belum cek filmografi stradanya, namun hanya lewat menonton film ini saya tahu si strada merupakan tipikal komandan berintegritas kuat terhadap bakal karyanya. Apalagi ia ditemani dengan kru yang bisa saya katakan juga mumpuni secara keseluruhan, jika dilihat dari pencapaian hasil akhir. Sebagai contoh, baru pertama dengar alunan musik petikan gitar akustik melankolis Latin-nya saja saya sudah menerka bahwa pengisinya bukan lain merupakan si Gustavo Santaolalla (Brokeback Mountain).

Sekarang, siapa yang tak kenal sosok Che. Kisahnya? Perjuangannya? Tragedinya? Kalaupun tak kenal, minimal ia pasti pernah melihat poster legendarisnya (saya lupa judul dan kreator posternya) yang mana Che berparas berewok mengenakan topi berlogo bintang di sisi muka. Lalu kenapa? Nah, film ini ambil sikap hanya fokus merekonstruksi perjalanan penting Guevara dan Granado, karibnya, susuri daratan Amerika Latin lebih dari 10.000 km hingga mencapai Venezuela demi mendapat pengalaman baru sebagai calon-calon tenaga medis atau dokter muda. Sebuah perjalanan yang awalnya tak dimaksudkan sebagai pencarian jati diri, lebih-lebih penemuan simpang alter ego.

Pelepasan keduanya sebelum berkelana di atas sepeda motor butut milik Granado oleh keluarga Guevara tercinta memperlihatkan kepada kita bagaimana harmonisnya hubungan keluarga besar Che. Ia beruntung dilahirkan dan hidup di tengah lingkungan berkecukupan dan penuh kasih-sayang. Hal ini seolah memberi sinyal bahwa saatnya bagi Che yang hidupnya bergelimang cinta untuk membagikan energi itu ke yang lain, yang masih pada termarjinalkan sebagai korban ketidakadilan. Perjalanan mereka tak semulus rencana. Ada kalanya si Guevara menjadi kian melankolis, sebagaimana yang terabadikan dalam catatan perjalanan atau surat-surat tulisannya untuk sang bunda. Ada kalanya mereka berdua kekurangan finansial dan tempat bermalam. Namun di atas semua itu, perjalanan itu membawa Guevara semakin mengalkulasi tingginya ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat Amerika Latin saat itu.

Inilah film tentang kesadaran yang dibuat secara sadar dan menyadarkan. Saya tak mampu berkata-kata pada beberapa menit sebelum gambar film berakhir hingga detik terakhir durasi berlalu. Bukan bermaksud bombastis, tapi saya benar-benar ingin sendirian saja saat menit-menit terakhir film berlangsung. Waktu itu film menampangkan foto-foto (buatan) ekspresi kaum kecil/papa, sederetan narasi film tertulis, serta foto-foto asli perjalanan Guevara dan Granado. Film ini membuat mereka lebih dari sekadar inspirasi, mereka nyata dan mengembara secara tajam dalam memori perjuangan. [A] 07/04/12

Resensi Film: The Kid with a Bike/Le Gamin Au Velo (2011)

Problema sosial kasus per kasus tak luput dari beragam variabel yang mengindikasikannya. Maka tak pelak lagi suatu solusi bagi satu kasus tak mungkin seratus persen sesuai diterapkan pada kasus lainnya. Saya memulai resensi ini dengan ceracau mengingat ada sesuatu yang serius dan amat empirik atas film yang akan dibahas. Sebuah karya dari negeri Napoleon Bonaparte peserta resmi kompetisi Cannes 2011.

Judul-judul macam yang dimiliki film ini terkesan eksotis sejak pertama membaca, misal saja A Boy in Stripped Pijamas (kalau tidak keliru). Saya sebelum menonton tak tahu kalau film ini masuk Cannes karena lebih karena faktor naksir judulnya. Baru pas layar pertama film diputar, ketahuanlah ia produk film festival. Terpampang jelas ikon gandum di sana. Siap-siaplah dengan sensasi handheld acapkali temui film ala festival. Walau dalam beberapa situasi agak kurang nyaman melihat film-film bersinematografi demikian, namun atmosfer yang terbangun selalu terasa jauh lebih riil secara emosional ketimbang riil semunya efek 3D.

Seorang bocah tengil (Jawa: nyebahi) selalu saja ngibrit lari entah mau kemana dan tak terkendali. Saya awalnya jengah lihat perilaku si bocah pirang karakter utama film ini yang bernama Cyril. Nakal tak nurutnya amit-amit. Di sekolah asramanya, ia langganan dikejar-kejar guru dan petugas lain. Alasannya, ia mau cari sepeda hitam miliknya. Tapi lama-lama, kita tahu apa yang ia cari melebihi sebuah sepeda, melainkan ayahnya. Sang ayah pergi tanpa pesan dari flat sewaan. Si bocah kian menggila kesana-kemari menyelidiki di mana sang ayah berada. Sampai ada suatu kejadian ketika ia dikejar-kejar di dalam sebuah klinik, si bocah menubruk perempuan secara tak sengaja yang belakangan menjadi figur penyayang pengisi kehidupan si bocah.

Film ini memotret kenakalan bocah dalam bingkai sosiografi. Macam makalah sosiologi difilmkan. Tunggu +/- 30 menit dulu baru penontonnya terhipnotis. Apa, kenapa, dan bagaimana ia bisa nakal, tak nurut, dan berontak. Satu lagi sumbangsih penting dari dunia perfilman untuk ortu atau siapapun yang peduli bocah.

Kembali ke ceracau awal saya di atas, mungkin film miskin musik latar ini (terhitung hanya ada satu komposisi musik yang diputar sebanyak empat kali sepanjang durasi) tidak menawarkan sebuah solusi. Namun kehadirannya mendorong saya mau untuk lebih memandang kompleksitas sebagai sesuatu yang harus diurai. [B+] 06/04/12

Resensi Film: The Taking of Pelham 123 (2009)

Latar belakang saya menonton film ini agak lucu karena pernah dengar judulnya beberapa tahun lalu tapi sama sekali tak ada informasi apalagi rekomendasi dari orang-orang dekat. Setelah beberapa hari lalu sempat seperempat bagian awal menyimaknya di Trans TV, wah… ternyata saya terpaku sejak desain produksi babak pembukanya yang bermain zoom in-zoom out rapi bercampur editing tajam pause-and-play. Sayangnya waktu itu, saya tak berhasil menonton penuh karena Ibu saya sedang menikmati kudapan sinetron di kanal stasiun TV lain. Alhasil, cari kopian dari warnet terus tancap gas!

Plotnya simpel. Ada pembajakan di sebuah kereta subway New York, menuntut walikota tebus beberapa sandera-warga dengan sejumlah dollar yang merupakan jumlah maksimal pengambilan perbankan dalam sehari. Ups, agak kebablasan menjelaskannya. Fokus utama plot film ini menampilkan borok sebuah sistem (baca: kapitalistik), yang dalam beberapa jendela kehidupan masyarakat ia telah mengabaikan sisi manusiawi. Drama film ini hampir saja menyatu dengan aksi tegangnya jika saja tidak terlalu Hollywood, alias terlalu lugas dan dibuat khidmat. Saya tak punya komplain yang cukup berarti untuk Pelham 123. Adegan aksinya lumayan seru, perang urat syaraf antarkarakternya berkembang intim. Akting kedua pemeran utamanya, Danzel Washington dan John Travolta, sama sekali tak meragukan. Mereka yang jelas tak makan gaji buta.

Sejak menonton film ini, saya jadi agak tertarik dengan si strada Tony Scott. Film dengan intensitas tegang yang berset temporal cerita dalam hitungan jam, atau tidak lebih dari sehari, saya pikir jarang ada dalam filmografi Hollywood. Terakhir, ada Margin Call yang mewakili model itu. Diadaptasi dari sebuah judul buku, Pelham 123 versi film muncul bak produk merchandise menarik. Mmm, saya kira Tony Scott bisa dipertimbangkan menjadi strada untuk rencana remake The Raid: Redemption (Serbuan Maut) versi Hollywood.

Percayalah, pasti Anda sebelum menonton film ini bertanya-tanya tentang apa arti Pelham 123. Santai saja, film ini akan menjawabnya sambil bertingkah akrobatik membiarkan penonton merasa terbawa keseruannya. [B] 06/04/12

Senin, 02 April 2012

Resensi Film: Seabiscuit (2003)

Jangan tanya saya kenapa seekor kuda yang menjadi salah satu figur utama film ini diberi nama Seabiscuit. Saya tak mendapat cukup informasi tentang itu. Seabiscuit merekatkan tiga manusia cedera dalam lintasan pacuan kuda untuk secara tak disengaja saling melengkapi dan (yang terutama) saling menyembuhkan. Masih ada kesempatan kedua bagi masing-masing yang pernah cedera.

Pertama, seorang pengusaha kaya berkat usaha kreatif berbasis masa depan yang ditinggal naas bocah kesayangan serta ditinggal minggat isteri tercintanya. Kedua, pemuda asal keluarga terdidik yang dalam masa krisis ekonomi 1920-an terpaksa dititipkan ortunya ke orang lain karena tak kuat menanggung biaya hidup. Ketiga, pecinta hewan sekaligus mantan dokter hewan tak resmi yang hidup menyendiri di tengah semak dengan latar belakang kehidupan suram yang kurang terjelaskan. Mereka bertiga tergabung dalam satu tim pengusung kuda pacu “from hero-to-zero” bernama Seabiscuit.

Saya bilang, film ini agak cacat membangun kontruksi (katakanlah) latar belakang masing-masing karakter utama. Ada lubang-lubang menganga yang tak diperbaiki di sana-sini. Terkesan si strada terburu-buru ingin menghadirkan sensasi drama merinding penginspirasi bagi penonton. Padahal babak tersebut menjadi akan kurang mengena ketika penonton tidak dikenalkan secara intim. Semua serba biasa dan klise, bahkan pincang di paro awal film. Satu-satunya karakter yang membuat saya terhibur malah adanya penyiar radio pacuan kuda yang ekspresif dan lucu karena totalitasnya menghibur pendengar setia dengan tanpa melawak.

Seperti yang saya tulis dalam paragraph awal, pesan moral dalam film ini merupakan tipikal pesan legendaris, “orang yang pernah salah atau cedera pun masih bisa punya kesempatan kedua”. Saya pun alhamdulillah menangkap pesan itu setelah menonton film ini. Tapi ibarat sebuah sms, jika disampaikan dalam susunan kalimat yang disingkat tak karuan tak baku kadang menjerumuskan pembaca/penerima pesannya pada arti yang lain. Dan Seabiscuit merupakan sms macam itu. [B] 01/04/12

Resensi Film: The Aviator (2004)

Siapa yang tak tahu pesawat jumbo jenis Hercules? Setelah menonton film karya strada gaek Martin Scorsese, jadi tahu deh kisah di balik kreasi Hercules. Namun, film ini bukan mengantarkan kita pada kisah penciptaan Hercules, melainkan riwayat bapak kreatornya yang merupakan seorang pengusaha USA supertajir nan flamboyan bernama Howard Hughes. Tentang idenya, jiwanya, dan tekadnya.

Set era film ini tak jauh beda dari set The Artist. Sekitar tahun 1930-an, yang mana dunia selebritas Hollywood sempat digemparkan dengan adanya film bersuara dan terhempas tragedi depresi ekonomi. Howard yang kadung dicap sebagai seorang playboy menyimpan banyak ide fantastis. Pertama dimulai dari terjunnya ia ke dunia perfilman. Dengan latar belakangnya sebagai seorang industrialis, ia tak sedikit terima cibiran dari komunitas perfilman yang telah mapan. Sebagai kru multiposisi ya sebagai strada, ya sebagai produser, dll, Howard mengusung megaproyek film epik supermahal. Sukseskah realisasi mimpi yang biayanya turut mempertaruhkan seluruh properti miliknya ini? Kedua, problem psikologis dan cinta sedikit demi sedikit melumat kewarasannya. Ketiga, kecanduannya pada impian dunia aviasi (penerbangan) menjadi buah bibir politik tataran nasional terkait proyek Hercules-nya, mulai dari prestasi sampai isu penggelapan dana negara.

Produser The Aviator pasti memiliki tujuan khusus tentang mengapa kisah Howard diangkat dalam sebuah film cukup kolosal dengan durasi supermelelahkan, hampir 3 jam. Bagi saya, sikap Howard merupakan sebuah simbol perlawanan. Film ini menggelar sebuah ironi ambisi visioner sang penerbang yang melabrak kekuatan monopolistik. Saya menangkap aroma itu. Scorsese rata-rata membuat film tanpa kejutan berarti, tapi setruman laten di balik ide besarnya selalu membuat penonton mendapatkan sesuatu pengingat. [B+] 01/04/12