Senin, 07 Oktober 2013
Rabu, 04 September 2013
Jepretan: Langit itu Disapu Kuas Pesawat
Gambar ini diambil sore hari dari balkon kamar flat.
Lucu nan riang sekali melihatnya.
Mengingatkan saya pada sebuah film pendek dari Pixar yang disertakan di awal film Up.
Langit biru cerah itu bak kanvas.
Dicorat-coreti garis putih bekas jejak pesawat.
Menggemaskan.
Pengin rasanya tangan ini ikut memegang kuas dan ikut-ikutan bersama pesawat melukisi langit...
Leiden, 04/09/13
Minggu, 18 Agustus 2013
Goresan: Meniti Impian
Apa itu impian? Sesuatu yang
awalnya bisa tampak mustahil. Sesuatu yang muluk-muluk. Atau bisa jadi sesuatu
yang sengaja dibuat-buat untuk menjadi bahan tetawaan. Saya punya satu impian
besar. Pergi ke Eropa! Apa alasannya? Entahlah, hingga saat ini saya sendiri
bingung menjelaskannya. Mungkin salah satunya karena seperti apa yang sudah
saya tuliskan di atas. Tampak mustahil. Terlahir dari kalangan keluarga
sederhana dengan orang tua yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah
menengah atas. Alangkah indah nian jikalau saya sebagai putera mereka bisa
melangkahkan kaki ke tempat-tempat yang belum pernah mereka tapaki selama ini.
Betapa bangganya mereka jikalau saya bisa mewujudkannya. Itu kata batin saya…
Selasa, 13 Agustus 2013
Resensi Film: 5 cm. (2012)
Jangan
berpikiran mesum ketika membaca judul film ini! Hahahaha… Diangkat
dari sebuah buku (seingat saya malah komik, karena saya sempat
membuka-buka bukunya yang mana di dalamnya penuh dengan gambar dengan
panel-panel khas komik), film ini berujar diinspirasi dari kejadian
nyata. Oke, satu nilai jual sudah dikantongi.
Berujarkan
tentang perkawinan antara tema persahabatan dan nasionalisme membuat
5cm. cukup
kerepotan dan kebingungan. Jangan salah kira dulu. Pada dasarnya,
saya sangat bisa menikmati film santai ini. Namun, penjejalan pesan
yang tak mulus menjadi iritasi tersendiri saat menontonnya. Grup
sentral dalam film ini berjumlah lima kepala. Mereka sahabatan.
Sampai-sampai saking intensnya persahabatan mereka, masing-masing tak
punya ruang lagi untuk menjalin interaksi sosial dengan lingkup di
luar geng lima sekawan binaan mereka. Salah satu anggotanya tiba-tiba
mencetuskan ide untuk putus kontak ekstrem antarsesama selama
beberapa saat untuk kemudian bereuni kembali di suatu momen.
Itu
plot awal pembangun film. Dan, seperti yang bisa kita simak melalui
sampul film, momen reuni mereka dirayakan lewat acara pendakian
Gunung “mahameru Jawa” Semeru. Khusus tentang pendakian ini
banyak yang komplain, khususnya datang dari pihak para pecinta alam
dkk. Film ini kurang mewakili realitas pendakian itu sendiri,
intinya. Yang lebih saya soroti di film ini adalah cara si strada,
Rizal Mantovani, mengemas dan memoles konsep film. Dengan dipilihnya
band Nidji sebagai pengisi soundtrack
film ini saja saya sudah menangkap mau dibawa ke mana arah 5cm.
di tangannya.
Secara
keseluruhan, saya merasa film ini masih kelewat merah jambu… Kurang
eksplorasi dan sangat-ngat bermain aman-man bin nyaman-man.
Sorot-sorot pemandangan di dalam film tercuri secara indahnya. Saya
mulai suka ketika melihat kepekaan sinematografer memotret keindahan
demi keindahan tropis persawahan sewaktu grup lima sekawan sedang
menuju Malang via sepur.
Belum lagi nanti ditambah eksotisme titik-titik utama di jalur
pendakian, terutama di Ranu Kumbolo (seharusnya ditulis: Ranu
Kumbala).
Tak
lama setelah menonton film ini, saya dengarkan lagu Dewa 19 berjudul
Mahameru.
Sambil membayang-bayangkan, bagaimana jadinya bila film ini ditangani
strada lain dan memakai lagu ini sebagai soundtrack-nya
dan membiarkan Andra Ramadhan mengambil status komposernya. [B]
10/08/13
Sabtu, 03 Agustus 2013
Resensi Album Musik: Mahadewa 19 - Past to Present (2013)
Sudah dirilis! Satu album baru formasi terkini Dewa 19. Di bawah nama Mahadewa 19, grup gres ini mempunyai Judika sebagai corong pelantun liriknya. Dari judul albumnya sudah ketahuan mau dibawa kemana album perdana mereka? Band legendaris besutan Ahmad Dhani ini sudah punya single melimpah. Beberapa di antaranya kita ketahui telah dan akan selalu melegenda. Bukan suatu kejutan bila suatu saat di masa depan nanti Ahmad Dhani akan diganjar penghargaan seumur hidup atas prestasi berkeseniannya.
Saya cukup antusias memutar album perdana Mahadewa 19 ini, karena… Dewa 19, bagi saya, termasuk band yang konsisten dengan karya-karya yang tak pernah mau masuk ke level di bawah rata-rata. Melihat sampul album Past, sungguh membuat hati saya tak tertarik. Sintetis sekali, dengan pilihan jenis tulisan yang wagu. Mengingatkan kita pada font kaku era band rock lawas. Berpadu dengan latar (yang sepertinya, maunya) futuristik, ala galaksi tersemat satu hati bersayap mengepak, membuat saya susah pahami arti sampul. Maksudmu apa, Mas Dhani? Mohon pencerahannya.
Terjawab sudah sejak lagu anyar pertama di album ini, Cinta itu Buta. Sudah bisa diduga! Kalau Anda mengikuti acara kompetisi adu bakat "X Factor Indonesia" yang mana Mas Dhani menjadi salah seorang juri mentor di dalamnya, maka selalu bisa kita dengarkan aliran musik dan aransemen apa yang sedang Mas Dhani gandrungi. Dan itu ia bawa di album “pertaruhan dan perkenalan” ini. Saya hanya harap-harap cemas saja jika Dewa 19 segera punah. Sebagaimana kita ketahui proyek sambilan Mas Dhani dengan jumlah yang banyak tapi tak satupun yang menunjukkan tanda-tandanya untuk berpotensi langgeng. Semoga dengan keluarnya album ini, saya harap Mahadewa 19 tak melakukan blunder. Itu saja harapan saya pada album ini.
Lagu pertama belum tentu mencerminkan keseluruhan, bela saya. Ternyata lagu demi lagu saya dengar dan seluruh album ini seirama dengan lagu pertama. Rock elektronik (konotasi positifnya, progresif). Itu kata kuncinya, sedang isinya berupa akrobat dan eksploitasi musik elektronik yang walau masih sangat bersahabat di telinga tapi terlampau distortif untuk ukuran keindahan versi orisinilnya. Oh ya, maaf kelupaan. Sebagai informasi, lagu-lagu dalam album ini mayoritas lagu lawas Dewa 19 yang di-cover. Pertanyaan berikutnya, Mas Dhani mengapa akhir-akhir ini panjenengan suka sekali berjalan di atas tempat dengan meng-cover karya-karya lamamu?
Performa mendayu-dayu rock Melayu khas Judika di album ini tenggelam oleh gegap-gempita dan hingar-bingar aransemen elektronis musik album Past. Kalau dikalimat pedaskan: “tak perlu cari kualitas vokal Judika untuk menyanyi di lagu-lagu aransemen seperti di album ini”. Toh, mubazir. Menurut saya, kalau aransemen Mas Dhani bakal seperti ini terus, mendingan contoh David Guetta yang menggandeng banyak vokalis untuk menyanyi-nyayi di atas olahan atraktif. Lebih menjual. Kasihan Judika, ia tak dibiarkan “pamer” teriakan mengiba curcol khasnya.
Kalaupun ada, semoga album Mahadewa 19 berikutnya insyaf. Tak menyanyikan ulang lagu-lagu lama dan lebih memuliakan bakat masing-masing lini. Bukankah semangat Dewa 19 merupakan semangat menyuarakan hati lewat lantunan lirik berjiwa muda (meskipun kadang sadur sana sadur sini) dan bukan semangat euforia aransemen musik canggih semata?
Lewat album ini, saya himbau Baladewa bermunajat untuk Mas Dhani. Semoga ia menyadari bahwa di luar sana ada orang-orang yang masih menanti karya Dewa 19 dengan ruh Dewa 19. Bukan Dewa 19 yang menjadi Linkin Park tanpa rap. Kalau Mas Dhani tetap berkeras, bukankah sebaiknya ia mengganti nama band-nya saja? [C] 03/08/13
Saya cukup antusias memutar album perdana Mahadewa 19 ini, karena… Dewa 19, bagi saya, termasuk band yang konsisten dengan karya-karya yang tak pernah mau masuk ke level di bawah rata-rata. Melihat sampul album Past, sungguh membuat hati saya tak tertarik. Sintetis sekali, dengan pilihan jenis tulisan yang wagu. Mengingatkan kita pada font kaku era band rock lawas. Berpadu dengan latar (yang sepertinya, maunya) futuristik, ala galaksi tersemat satu hati bersayap mengepak, membuat saya susah pahami arti sampul. Maksudmu apa, Mas Dhani? Mohon pencerahannya.
Terjawab sudah sejak lagu anyar pertama di album ini, Cinta itu Buta. Sudah bisa diduga! Kalau Anda mengikuti acara kompetisi adu bakat "X Factor Indonesia" yang mana Mas Dhani menjadi salah seorang juri mentor di dalamnya, maka selalu bisa kita dengarkan aliran musik dan aransemen apa yang sedang Mas Dhani gandrungi. Dan itu ia bawa di album “pertaruhan dan perkenalan” ini. Saya hanya harap-harap cemas saja jika Dewa 19 segera punah. Sebagaimana kita ketahui proyek sambilan Mas Dhani dengan jumlah yang banyak tapi tak satupun yang menunjukkan tanda-tandanya untuk berpotensi langgeng. Semoga dengan keluarnya album ini, saya harap Mahadewa 19 tak melakukan blunder. Itu saja harapan saya pada album ini.
Lagu pertama belum tentu mencerminkan keseluruhan, bela saya. Ternyata lagu demi lagu saya dengar dan seluruh album ini seirama dengan lagu pertama. Rock elektronik (konotasi positifnya, progresif). Itu kata kuncinya, sedang isinya berupa akrobat dan eksploitasi musik elektronik yang walau masih sangat bersahabat di telinga tapi terlampau distortif untuk ukuran keindahan versi orisinilnya. Oh ya, maaf kelupaan. Sebagai informasi, lagu-lagu dalam album ini mayoritas lagu lawas Dewa 19 yang di-cover. Pertanyaan berikutnya, Mas Dhani mengapa akhir-akhir ini panjenengan suka sekali berjalan di atas tempat dengan meng-cover karya-karya lamamu?
Performa mendayu-dayu rock Melayu khas Judika di album ini tenggelam oleh gegap-gempita dan hingar-bingar aransemen elektronis musik album Past. Kalau dikalimat pedaskan: “tak perlu cari kualitas vokal Judika untuk menyanyi di lagu-lagu aransemen seperti di album ini”. Toh, mubazir. Menurut saya, kalau aransemen Mas Dhani bakal seperti ini terus, mendingan contoh David Guetta yang menggandeng banyak vokalis untuk menyanyi-nyayi di atas olahan atraktif. Lebih menjual. Kasihan Judika, ia tak dibiarkan “pamer” teriakan mengiba curcol khasnya.
Kalaupun ada, semoga album Mahadewa 19 berikutnya insyaf. Tak menyanyikan ulang lagu-lagu lama dan lebih memuliakan bakat masing-masing lini. Bukankah semangat Dewa 19 merupakan semangat menyuarakan hati lewat lantunan lirik berjiwa muda (meskipun kadang sadur sana sadur sini) dan bukan semangat euforia aransemen musik canggih semata?
Lewat album ini, saya himbau Baladewa bermunajat untuk Mas Dhani. Semoga ia menyadari bahwa di luar sana ada orang-orang yang masih menanti karya Dewa 19 dengan ruh Dewa 19. Bukan Dewa 19 yang menjadi Linkin Park tanpa rap. Kalau Mas Dhani tetap berkeras, bukankah sebaiknya ia mengganti nama band-nya saja? [C] 03/08/13
Sabtu, 20 Juli 2013
Resensi Film: Tonari No Totoro/My Neighbour Totoro (1988)
Dengan
bangga saya sebutkan kalau Totoro
menjadi salah satu film (karya si master kartun Hayao Miyazaki)
favorit saya. Durasinya yang sangat bersahabat yakni tak lebih dari
90 menit sangat sempurna mengemas plot sederhana yang ditawarkan
menjadi sebuah suguhan magis pengubah suasana hati menjadi lebih
cerah ceria.
Sebagian
besar plot Hayao menampilkan sisi kepolosan bocah dan eksplorasi
lingkungan hayati dengan segala penghormatan terhadap kepercayaan. Di
Totoro pun
polanya masih demikian. Seorang ayah dan dua puterinya sedang
pindahan rumah. Tempat baru mereka berdiri tengah pedesaan nan asri,
dikelilingi pepohonan rimbun. Mereka hidup di antara masyarakat
petani-peternak alami, yang tentunya sangat bersahabat dan peduli
dengan alam.
Tiap
bingkai gambar di film ini begitu deskriptif. Seolah-olah kita
sebagai penonton bisa menghipnosis diri ikut menghirup murninya
oksigen di sana. Sebagai catatan, film ini masih bertenologi 2D
sederhana. Sebagai penikmat film yang sudah kerap menjajal teknologi
3D, saya cukup takjub dengan keindahan gambar film ini.
Mereka
bertiga menanti kesembuhan sang bunda yang sedang dirawat di rumah
sakit. Menyaksikan keakraban interaksi antara kakak-adik serta ayah
dalam keluarga kecil ini pasti akan membuat kita semua iri. Betapa
bahagia dan saling menyayanginya mereka bertiga. Tentu, ada
pengalaman fantasi yang dibubuhkan Hayao. Di film ini, kita akan
diajak menjelajah terusan semak belukar di bawah pohon raksasa yang
membawa kita pada pertemuan dengan satu tetangga baru bernama Totoro.
Ia
berbentuk segitiga tambun dipenuhi bulu lembut. Punya kumis jarang
ala kucing. Berekor bulat asal nyembul. Lucu dan menggemaskan sekali.
Apalagi ketika ia menguap. Si bungsulah yang pertama menemukannya,
lalu dilanjutkan oleh si kakak. Sayangnya, si ayah tak pernah bisa
melihatnya. Mungkin, ini embarkasi yang sengaja dibangun Hayao.
Betapa polosnya anak-anak, sehingga mereka bisa melihat dan lebih
peka terhadap hal-hal baru yang bakalan hilang ditelan asas
rasionalitas pribadi dewasa.
Pengalaman
pertemanan si kakak-adik ini dengan Totoro menjadi porsi utama
pertengahan kedua film. Siapa coba yang tidak pengin punya tetangga
yang selucu boneka jumbo tapi imut dan baik hati seperti Totoro? Ada
banyak momen yang membuat saya ingin sekali ikut nyemplung ke dalam film.
Salah satunya yakni mencicipi bus kucing-kuning terbangnya yang
berukuran jumbo. Saya ingin sekali ikut duduk di atas sofa
empuk berbulu halus di dalamnya. Alamak!
Satu
jawara lain persembahan dari Studio Ghibli. [A] 20/07/13
Sabtu, 13 Juli 2013
Goresan: Balada Seorang Tuan Dikerjain Mainan Barunya dan Toko Penjualnya (3/Selesai)
Selama
si Asus opname, saya kembali ke hati lama yakni IBM Thinkpad X31 yang
bandelnya minta ampun. Dalam artian positif, tentunya. Ketika saya
memakai ulang si Thinkpad, tiba-tiba saya teringat film Toy
Story, yang mana di situ
diceritakan bagaimana si tuan beranjak dewasa dan mainan lamanya yang
selama ini setia menemani lambat laun tercampakkan. Duh, spontan saja
saya sendu. Maaf ya, Thinkpad… Terima kasih telah setia menemani
saya selama ini.
Servis
I melahirkan harapan baru. Semoga tak ada lagi masalah atau kerewelan
yang muncul dari si Asus. Saatnya mengecas! Di persen belasan, arus
berjalan normal. Alhamdulillah. Masuk persen 20-an. Tiba-tiba…
Kekhawatiran terjawab sudah. Masalah yang sama tetap saja muncul.
Saya diam sebentar. Merasa prihatin. Ya, sudahlah… Awalnya, saya
mau pasrah saja. Kalau memang harus mengecas dalam keadaan netbuk
mati ya diterima-terimain ajah.
Setelah
mengalami beberapa saat pergulatan batin, mengenai akankah saya
memondokkan kembali si Asus atau tidak, akhirnya saya putuskan untuk
memeriksakannya kembali ke si dokter.
Servis
II
Kali ini, hanya
satu hari si Asus inap. Dan baru ketahuan kalau biang keladinya adalah BIOS (basic
input output system).
Begitulah kepanjangannya kalau tak keliru. BIOS ini memang perangkat
lunak yang paling dasar untuk sebuah komputer. Sebelum diisi OS pun dia
sudah tertanam.
Memutakhirkan
BIOS. Yah, itu saja solusinya. Kalau Anda cek di situs web resmi dan
mengecek seri BIOS, maka akan didapati seri terkini. Dan seri BIOS si
Asus yang saya pakai ini memang teridentifikasi bermasalah dalam hal pengecasan baterai. Makanya, terus si Induk menyediakan seri BIOS mutakhir/penyembuh.
Ampuuuuuuuuuun.
Ini sepele sekali, tapi butuh diagnosis yang tak sebentar. Belum lagi
ketika saya sempat mengunjungi pusat servisnya si Asus dibilang kalau
tidak (masih) charger-nya
ya motherboard-nya.
Mereka menambahi, bakalan lama kalau mau mondok di pusat servis resmi
si Asus. Aneh, problemnya sesimpel ini namun mereka belum bisa mendiagnosis
sejak awal. Apa si teknisi resmi si Asus (yang saya temui saat itu) belum baca/browse di web resmi Asus? Untung saja saya tak jadi memasukkan ke sana, meskipun bertajuk bengkel resmi. Bisa jadi servis kedua si Asus bakal mondok lebih lama kalau jadi dimasukin ke sana. Maka kembalilah saya ke dokter lama si Asus dari toko komputer tempat ia dijual.
Terima
kasih, Pak Dokter. Meski awalnya saya jengkel dengan standar layanan jual toko
tempat Anda bertugas, tapi saya mengapresiasi layanan purnajualnya.
Untuk
si Asus… Saya mengamini ulang peribahasa "ada uang, ada barang". Murah,
tetap ada konsekuensi minusnya.
ASUS
Eee PC 1025C,
Sip
untuk:
- Harganya yang terjangkau, ditilik dari spesifikasi yang ditawarkan.
- Ketahanan operasional tenaga baterai yang bisa dimaksimalkan hinga 12 jam, meskipun jenis baterai 6 sel-nya membuat keseluruhan netbuk jadi terasa agak berat.
- Ada garansi global. Entah apa aplikasinya akan benar-benar tidak merepotkan jika kita servis pas berada di luar negeri.
Pikir
ulang untuk:
- Stabilitas performa: kualitas audionya walaupun bertajuk HD (high definition) namun tetap saja bisa kita dengarkan distorsi/interupsi kecil sepersekian detik yang kerap muncul entah berapa menit sekali (tak mesti/rutin). Saya penasaran dengan hal ini, apa sebabnya? Thinkpad saya walaupun spesifikasi audionya biasa saja, tapi punya performanya yang lancar jaya.
- Bebas hang. Setelah BIOS dimutakhirkan tetap saja si Asus pernah alami pingsan dadakan (hang) padahal aplikasi komputasi yang saya jalankan saat itu sangat-sangat-sangat dasar.
Yah,
bagi saya si Asus layak dapat **1/2 dari skala ***** bintang.
[13/07/13]
Selasa, 09 Juli 2013
Goresan: Balada Seorang Tuan Dikerjain Mainan Barunya dan Toko Penjualnya (2)
Servis I
Si Asus didiagnosis sakit IC
charging-nya dan harus opname dengan keterangan paling cepat 2 minggu baru sembuh (what?!!!). Jengkel hati saya
menjadi-jadi.
*Gambar beralih ke karikatur
LIDAH API MENJULUR-JULUR DARI
TUBUH SAYA
Baiklah, ini posisi yang
sangat tidak mengenakkan saya. Di satu sisi, saya ingin mengedukasi diri untuk
mengalirkan komplain secara elegan. Di sisi yang lain, saya kecewa beratz (sampai pake “z” segala).
Hasilnya, seminggu lebih
sedikit atau tepatnya 9 hari kemudian saya dihubungi pihak toko. Kabar
segarnya, si Asus sudah sembuh dan bisa dibawa pulang.
Kejutan kecil lain datang lagi,
diceritakan oleh si dokter kalau si Asus kondisinya baik-baik saja. Dia cuma
tak cocok dengan charger-nya.
Alhasil, tak ada acara bongkar-bongkaran. Hanya diganti charger-nya saja. Lalu, kenapa butuh waktu seminggu lebih opname???
Jawab si dokter, charger tak bisa
sembarangan diganti atau comot dari teman si Asus yang lain. Harus dikomunikasikan
dulu dengan si induk, karena masing-masing bawa nomor seri (whatsoever-lah).
Sudahlah, selang seminggu
lamanya emosi saya pun sudah tertata baik lagi. Yang penting, si Asus sudah bisa dibawa
pulang secara gratis-tis karena ada kartu jaminan kesehatan bertuliskan
GARANSI.
Lalu, kenapa saya menulis di
atas “Servis I”? Pasti ada udang di
balik batu… 09/07/13
Senin, 08 Juli 2013
Goresan: Balada Seorang Tuan Dikerjain Mainan Barunya dan Toko Penjualnya (1)
“Netbuk
baru? Alhamdulillah…”
Belum sempat senandungkan
plesetan dari lagu Baju Baru itu, saya sudah dibikin jengkel oleh si netbuk
baru. Dibikin mondar-mandir ke toko tempat ia dibeli, buat komplain minta “pertanggungjawaban”.
Insiden kecil ini sebenarnya cukup menarik kalau dialihmediakan ke dalam bentuk
sebuah film pendek. He3…
Si Asus lahir dari
silsilah keluarga bermarga Eee PC. Nama serinya 1025C. Abu-abu gelap warna kulitnya. Baru
seminggu saya gondol meski tanpa timang-timang, eh... sudah ketahuan punya rewel.
Pas baterainya dicas dalam keadaan aktif (nyala/beroperasi), spontan
atau lambat laun muncul error: pengisian
daya listriknya putus-nyambung. Kalau balon notifikasi putus-nyambung di atas
layar netbuk dicuekin begitu saja sekitar 30—60 detik, maka yang akan terjadi adalah hang. Sial! (batin saya). Udah dikibulin
ma netbuk baru neh.
Kembalilah saya ke toko komputer
tempat si Asus dibeli. Ada kejutan kecil lainnya yang saya dapat di sana. Si Asus sebenarnya
bisa ditukar dengan si Asus yang lain, tapi… OS alias operating system si Asus yang saya punya itu aseli dan kadung saya aktivasi.
Jadi kalau mau ditukar, si tuan alias saya harus merelakan OS aselinya (padahal
perlu rogoh kocek kalau mau beli OS aseli lagi). Sempat mangkel batin ini
karena waktu beli dulu tak diberi tahu oleh si petugas toko bahwa selama masa
garansi toko (7 hari) supaya OS aselinya jangan diaktivasi dulu. Ini dia yang
buat saya dongkol kuadrat. Saya keluarin pula uneg-uneg yang ada: “kenapa waktu
saya beli tidak diinfo!” Tak ada jawaban, mereka diam.
*Gambar membeku (wajah saya
sedang murung, sambil menahan amarah yang mendidih walau belum sampai 100 derajat selsius #lebay#)
"INI DIA PENTINGNYA MELAYANI PELANGGAN
DENGAN STANDAR, MENERANGKAN INFORMASI SECARA MENYELURUH KEPADA PELANGGAN”
Toh, kalau standar dijalankan
secara tuntas apabila di kemudian hari terjadi apa-apa dengan barang
terjual maka si petugas toko tak perlu bingung-bingung lagi bersilat lidah bin
memutar otak cari-cari “pembelaan diri”. 08/07/13
Resensi Film: Ashes of Time Redux (2008)
Kalau Anda pengin menonton
karya tipikal Wong Kar Wai berset dunia persilatan Tiongkok (sebagaimana kita
kenal, Wong lebih sering memproduksi tema personalitas percintaan berset
kontemporer), maka silakan catat Ashes sebagai
referensi. Saya menonton versi yang telah disunting ulang (Redux). Konon, plot film ini didasarkan pada kisah empat karakter
dalam novel meledak The Legend of the
Condor Heroes.
Seperti biasanya, anyaman Wong sangat bisa dibanyangkan dan terprediksi. Plot
ringkas, lebih merupakan pengembangan dari ide-ide filosofis sederhana. Masih
saja Wong kukuhkan diri sebagai pengamat elegi cinta berkelindan. Bedanya, kali
ini filmnya tanpa tawaran koleksi lagu pilihan. [C+] 08/07/13
Langganan:
Postingan (Atom)