Jumat, 19 Agustus 2011

Resensi Film: Toy Story 2 (1999)

Seri judul film animasi CGI yang satu ini saya tonton secara terbalik dan belum lengkap. Sedikit saya ingin mengingat kembali tentang apa yang saya alami sewaktu menonton Toy Story 3. Kala itu saya buta plot dan karakter Toy Story, tiba-tiba saja ingin coba menonton suguhan 3D untuk pertama kalinya. Mmm… khusus sensasi 3D, standarlah. Tapi, plotnya itu lo… di dalam kegelaman ruangan bioskop terselip beberapa kali mata saya berkaca-kaca. Betapa tidak? Alur kisah persahabatan dan nilai keluarga yang sukses disampaikan secara inosens.

Hampir senada dengan seri ketiga, seri kedua masih bercerita ketika sekelompok mainan boneka koboi bernama Woody dkk., yang terancam di-“buang” pemiliknya, terseret dalam petualangan besar karena menyelamatkan teman yang hendak dilelang sebab sudah usang. Kasihan. Dari premis ini saja kita sudah bisa membayangkan bagaimana pedihnya jika boneka/mainan itu adalah kita (baca: manusia). Hwa3… Dijamin nangis! Si pemilik koleksi boneka yang bernama Andy tak banyak berkontribusi dalam plot di sini. Ia hanya dikisahkan tak jadi membawa Woody ketika berkemah lantaran tangan Woody tak sengaja robek dan belum sempat dijahit karena keburu berangkat kemah. Dari rumah Andy, toko mainan besar, sampai bandara semuanya jadi medan petualangan Woody dkk.

Warna-warna yang disuguhkan sangat bersahabat dan menyenangkan. Pastel, penuh dengan keriangan. Saya jadi betah dan jenak menikmati keindahannya. Musik pengiringnya biasa sajalah, tapi OST-nya itu ngepas banget dengan salah satu scene cemerlangnya. Yakni ketika pengadegan montase di balik terbuangnya teman wanita Woody (namanya kalau tidak salah Jessie). Sebuah lagu berjudul When She Loved Me yang dinyanyikan Sarah McLachlan diperdengarkan. Berkali-kali Pixar menghadirkan karya pilihan. Walau yang satu ini tak teramat spesial dari segi kejutan, tapi keriangan dan kegemasan di tiap adegan kecilnya membuat saya terhibur. [B] 19/08/11

Minggu, 14 Agustus 2011

Jepretan: Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang (16/07/11)






Note.
Subhanallah... Meski hanya kurang dari setengah hari ke Semarang. Saya langsung memanfaatkan waktu berkunjung (dan salat tentunya) ke Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang. Waktu tak banyak, langsung saja jeprat-jepret naik ke menara dan menikmati sejenak lanskap Kota Semarang. Next time, wanna go to Lawang Sewu. Insya Allah...

Pasca-Membaca "Nasional.Is.Me"-nya Pandji Pragiwaksono

Sudah lama tak baca buku, keasyikan belajar siasat dan trik tes TOEFL. Tiba-tiba bisa kecanduan sekilas nuntasin buku karya Pandji Pragiwaksono bertitel Nasional.Is.Me. Ceritanya begini... Suatu pagi saya (seperti biasa) berstatus invisible di Y!M, di situ saya lihat teman saya sedang online dan muter lagunya Pandji berjudul apa gitu. Terus saya sapa dan sahut saja... mengingat saya sering dengar Hard Rock FM sewaktu masih merantau cari nafkah di Jakarta. Tanya tentang bagaimana lagu-lagu Pandji. Eh, teman saya tahu-tahu bilang dia jadi enggan bepergian ke Thai atau Viet dan lebih memilih destinasi domestik setelah baca Nasional.Is.Me. Whoa... penasaran saya jadinya tentang how strong this book affects its readers jadinya? Saya dikasih rekomendasi buat ngunduh pdf-nya via pandji.com (thx Aji...). Sampailah saya di laman tersebut dan busyet! Saya baru nyadar, Pandji yang dimaksud itu Pandji yang sering nongol di TV. Ya ampun, kemana aja saya selama ini... Hello?

Mulai baca. Kebetulan waktu itu saya sedang di kantor, pakai fasilitas internet kantor pula buat unduh file (sekadar informasi, saya bekerja di instansi pemerintah). Semoga ini bukan bagian dari korupsi apapun itu jenisnya, bismillah saya selalu berniat melakukan sesuatu yang bermanfaat di waktu senggang. Maklum di kerjaan saya memang sangat berlimpah waktu selanya (you know-lah?), ketimbang join RERASAN CLUB yang doyan berbuih-buih bin mumpluk ngerasani sana-sini dan amit-amit!!!! Sepuluh halaman pertama memuat perasaan tertarik amat sangatnya. Konsep tulisan Pandji santai, lugas, jujur, dan tak overakting. Teknisnya pun ayik karena tak rapi tipe justify kayak ngetik makalah. Jadi bacanya enjoy dan (yang terpenting) cepat ganti halaman. Hwa3....

Buku ini semacam persuasi provokatif bagi apatis-er sampai level ke bawahnya dalam memandang Indonesia. Intinya, tak seburuk itu kok Indonesia dan kalau peduli dan mau kamu tentu bisa berbuat sesuatu untuknya. Yang lebih memalukan lagi, saya tak pernah menggagas apa sih itu Indonesia Unite. Dan lewat baca tulisan ini saya baru tahu macam apakah Indonesia Unite itu. Saya takkan membahasnya di sini. Saya akan lebih fokus pada pengalaman dan apa yang tersisa dalam diri selama dan setelah membaca Nasional.Is.Me. Judulnya aja lucu dan kreatif ya. Salut buat Mas Pandji yang mau blak-blakan dan membuka diri guna berbagi sesama ihwal latar belakang dan pengalaman hidupnya. Acapkali saya terharu (dalam artian sebenarnya) ketika melintasi bagian-bagian yang humanis nan emosional. Itu tersebar di banyak bagian dalam tulisan ini. Mulai masa sekolahnya sampai caption pada halaman terakhir.

Saya sangat tertarik dengan perjalanan kisah SD-SMP-SMA, terutama waktu SMA. Beneran, kalau saya kreatif dan punya senses of film-making bagus pasti sudah bisa menyiapkan rencana pembuatan filmnya. Tak semua orang punya pengalaman hidup yang sama. Itu yang membuat masing-masing cerita jadi unik dan bernilai lebih kalau kita bisa menceritrerakannya secara bersemangat dan seru (ingat karakter Forrest Gump jadinya). Halaman demi halaman saya lewati, makin ke sini makin membuat saya malu karena merasa belum bisa berbuat sesuatu untuk negeri sekalipun sekarang sudah menjadi CALON staf pemerintah. Sementara di dalam dan luar kantor saya malah lebih sering enjoy ngenyek-ngenyek dan murka atas perlakuan lembaga terhadap diri. Semoga saja takkan berkepanjangan dan bisa mendorong ke arah yang lebih baik. Amin. Tapi jujur, pelampiasan itu perlu karena akan menghasilkan energi negatif kalau terus-terusan dipendam.

Nasional.Is.Me membuat khayal saya sepintas berkeliling ke beberapa pelosok negeri. Bagian yang disampaikan setelah babak tentang sekolah dan olahraga. Pada bagian olahraga, saya mengamini juga bahwa salah satu momen kebersatuan negeri ini ya pas pertandingan melawan negara lain. Semua yang tadinya berantem bisa menjadi satu-padu. Dari mana kekuatan ini berasal kalau kita sendiri telah menyadari bahwa kita ini satu. Memang musti terus diasah, kalau perlu dipaksakan. Saya harap, kalau ingin benar-benar membuat tulisan ini spesial ketika membacanya mohon dikesampingkan dulu prinsip ala Imagine-nya John Lennon sejenak karena kita sekarang sedang membicarakan Indonesia, yang dibatasi faktor yuridis dan geografis.

Saya salut dengan cetusan Indonesia Unite yang mengobarkan semangat revitalisasi nasionalisme. Sekarang masih banyak yang mendiskusikannya tentang apakah masih ada, relevankah, apa penggantinya. Bagi saya pribadi, silakan lakukan apapun yang bisa dikerjakan asal positif dan berusaha tidak berjalan di tempat. Capeknya terasa mubadzir. Negara kita tercinta ini tak hanya kaya akan Sumber Daya Alam (SDA)-nya melainkan juga wacana. Manfaatkan itu untuk berbuat sesuatu, sekecil apapun. Memang Pandji dalam buku ini tak menyarankan dan menolak terjadinya revolusi karena negara ini sudah on the track. Tapi bagi saya, kaum revolusioner pun silakan meneruskan persiapan kematangan dalam eksekusi dan visinya asal tak mengganggu dan mengorbankan perdamaian dan segala kebaikan yang sudah ada di Indonesia.

Mari kita lakukan dengan cara masing-masing. Saya pribadi takkan malu untuk memulai dengan hal remeh, misal membuang sampah pada tempatnya. Bagi negara yang sebentar lagi berusia 66 tahun ini hal kecil apapun akan terasa besar manfaatnya kelak. Gila apa, buang sampah aja masih sebarangan padahal sudah berkepala enam. Apa tak kurang menyedihkan? Inilah investasi bagi pendekatan sekuler, untuk yang relijius bisa jadi jariyah. Insya Allah... Temukan teman-teman sevisi demi menjadi stabilitas pelita semangat. Konsisten untuk sedikit demi sedikit menular-sultutkan ke yang lain. Sudah jamak diketahui bahwa pada hakikatnya manusia dilahirkan bersih. Lama-kelamaan pasti akan ada yang tersetrum jika yang kita lakukan merupakan murninya kebaikan. Biarkan sumbu ini menyala hingga lilin meleleh habis. 13/08/11

Minggu, 07 Agustus 2011

Resensi Film: Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 (2011)

Selang satu dekade berlalu, sebuah seri kisah petualangan trio di dunia sihir berakhir. Berasa telah menjadi bagian dari tak hanya kru pembuat film namun juga pemirsanya. Saya jadi teringat ketika pertama kali menonton seri pertama Potter lewat VCD bajakan yang mutunya bikin muntah-muntah. Macam colongan syut di dalam bioskop.

Tentu bukanlah kisah penutup yang dinanti-nantikan para pemirsanya lewat seri pungkasan ini karena telah umum diketahui dari bukunya, melainkan bagaimana adaptasi dan visualisasinya. Ekspektasi saya menonton seri ini hanya satu, semoga lebih baik ketimbang seri sebelumnya. Film dibuka persis dengan adegan penutup dalam Part 1. Alhamdulillah... Untung tak terwara “sebelumnya... di Part 1” (seperti dalam sinetron Cinta Fitri). Kencangkan sabuk pengaman sejak dini karena seri ini langsung tancap gas.

Kalau dalam Part 1 saya sangat bersyukur (seingat saya) tak tersaji format 3D, tapi seri pungkasan ini tak salah jika Anda menikmatinya dalam format 3D karena beberapa adegan berpotensi sensasional. Seketika, saya langsung berpikir mengapa tak dibuat saja The Deathly Hallows dalam satu judul alias tak perlu dipisah namun dengan durasi yang disesuaikan. Lord of the Rings saja mampu menyajikan dengan baik tiap serinya. Selain itu, sayang tak terlalu banyak agenda strada yang membidani seri Potter (tercatat hanya 4: Chris Columbus, Alfonso Cuaron, Mike Newell, dan David Yates). Bayangkan saja jadinya jika Potter distradai oleh Tim Burton, Peter Jackson, dll.

Beberapa komentar dari teman saya yang telah membaca bukunya... Ada yang bilang terlalu maksa memasukkan adegan-adegan ciuman, juga ada yang berpendapat untuk sebuah penutupan kurang akbar. Saya pikir sangat wajar dengan lontaran komentar demikian jika kita sudah membaca bukunya. Bagi yang belum, sensasi akan terasa sedikit berbeda karena belum mengetahui jalinan akhir kisahnya ditambah dengan intensitas plot yang solid akan mengesankan tingkat keseruan yang lebih maksimal.

Beberapa adegan yang cukup “cape deh...”, semisal pengadegan Potter dalam kondisi “sekarat” dan “19 tahun kemudian” menjadi cukup terkubur. Secara keseluruhan, David Yates membayar lunas kekhilafannya dalam Part 1 dan menyajikan win-win solution bagi pemirsa Potter. Sebuah khatam yang sukses menuntaskan penasaran. [A-] 07/08/11

Rabu, 03 Agustus 2011

Resensi Film: Hereafter (2010)

Tua-tua keladi. Mungkin itu peribahasa yang pas saya sematkan bagi Clint Eastwood. Betapa produktif dan intimnya film-film drama besutan aki-aki ini. Alam bawah sadar saya selalu merindukan karya-karya Eastwood. Kali ini datang dari sebuah judul yang nilai konsensus dari kritikus filmnya bias dibilang biasa-biasa saja. Saya agak terkejut juga karena biasanya film Eastwood selalu dapat skor tinggi. Tapi saya takkan ikut-ikutan menghakimi sebelum menontonnya sendiri.

Apa yang akan terjadi setelah kematian? Pertanyaan ini menjadi peluit start. Lewat tiga cerita paralel, Hereafter menjalin ikatan kisah senasib-sepenanggunan atas tiga karakter utama lintas negara: (1) wanita karier asal Paris berprestasi gemilang yang menjalani “hidup kedua” pascamusibah tsunami kala piknik; (2) seorang cenayang—diperankan Matt Damon—warga San Fransisco yang akan bertobat melakukan pembacaan; (2) bocah yang tinggal di London sedang merindu dan berat melepas kepergian saudara kembarnya.

Menonton film multiplot pasti memancing tanya bagaimana jadinya mereka bertiga nanti. Akankah saling berhubungan atau dibiarkan saja bak fragmen berserakan. Eastwood memilih formula khas Hollywood yang takkan menelantarkan penontonnya dengan tanda tanya besar berbuntut diskusi panjang dan debat kusir. Tapi inilah yang ke depannya malah jadi bumerang Hereafter.

Si cenayang merasa kehidupan sosialnya tersiksa. Ia merasa berkat yang ia punya merupakan sebuah kutukan. Hanya bersentuhan tangan, tanpa kesengajaan pembacaan, pun indera keenamnya langsung terkoneksi dengan entitas gaib dari orang yang disentuhnya. Wanita karier asal Paris yang merasa sempat memasuki alam kematian spontan gairah dan orientasi hidupnya berbalik 360 derajat. Ia tak tertarik lagi dengan popularitas dan kekayaan, fokusnya hanya mendalami apa yang telah terjadi pada dirinya dan berbagi kisah hidupnya pada sesama. Si Bocah dari London gamang atas situasi yang menghimpitnya. Tiba-tiba ia kehilangan panutan yang bukan lain merupakan kembarannya. Ia kesana-kemari mencari jalan untuk bias berkomunikasi dengan mendiang saudaranya.

Bukan Eastwood kalau tak memperdalam nilai-nilai maknawi pencarian. Itulah kekuatan Hereafter. Ia mengajak penonton juga mencari dengan cara yang lembut, tak grusah-grusuh. Menuntun dan membebaskan perasaan. Tapi tema semacam ini bakal sulit dan pasti akan selalu susah dikembangkan. Mengapa demikian? Karena semua bermain dengan pengandaian dan ihwal keyakinan. Hereafter pun tak bias lolos dari jebakan demikian.

Tiga per empat awal bagian film begitu terasa mengalir. Baru kelihatan bingung ketika menginjak naskah bagian akhir tentang mau dibawa kemana multiplot bertemakan sentuhan kematian ini. Penulis naskah pilih menyudahinya sebagai sebuah romantisme khas ending film drama komedi. Sah-sah saja, namun sayangnya tak terbangun konstruksi utuh mengenai kisah cinta di sini. Saya sadar bahwa masalah ketiganya tuntas di bagian akhir film, namun cubitan-cubitan adegan hingga paro film tak mengarahkan dengan jenis ending yang dihasilkan. Sebuah kejutan yang tak disangka namun meleleh seperti mendapati es krim yang dibeli dari supermarket telah lumer sesampai di rumah. [B-] 03/08/11