Minggu, 30 Oktober 2011

Resensi Film: The Men who Stare at Goats (2009)

Dibintangi 4 aktor besar: Ewan McGregor, George Clooney, Kevin Spacey, dan Jeff Bridges belum tentu menjamin sebuah film sukses di pasaran. The Men kian cepat tenggelam. Mungkin ibarat kapal yang kelebihan muatan, ia tak mampu mengimbangi. Saya kira ini film tentang apa, dilihat dari judulnya tentu sangat menggoda dan mengundang banyak tanya. Ternyata tentang pendekatan psikologi dalam dunia ketentaraan.

Diinspirasi dari sebuah buku, The Men menceritakan bagaimana jadinya jika sistem protokol militer dirasuki metode psikis yang notabene memandang perlunya menjadikan tentara sebagai kreator dan penyebar virus kedamaian. Senjata digantikan bunga, latihan fisik digantikan tari, dan tentunya tak ketinggalan pelbagai metode NLP (neuro linguistic programming) bisa dipakai. Jalinan cerita disampaikan lewat satu karakter jurnalis gagal yang diperankan Ewan McGregor. Demi pembuktian diri, ia berangkat ke zona merah Irak. Tak sengaja bertemu dengan salah seorang prajurit mantan binaan metode psikologis, ia pun terjerumus dalam petualangan demi petualangan yang semakin memperdalam pengetahuannya tentang misi penerjunan prajurit psikologis—yang diajari mampu membaca masa depan, mematikan kambing hanya lewat tatap mata, dan penguasaan khas psikis lainnya.

Sumpah. Tak berbekas kesan apapun setelah saya rampung menonton film ini. Berlalu begitu saja. Hanya satu adegan yang cukup membuat saya ingin hanyut, yakni ketika saling bertatap muka seorang mantan prajurit USA meminta maaf atas perilaku invasif militernya dan sebaliknya seorang penduduk Irak meminta maafkan bangsanya atas segala penculikan yang dilakukan. Kembali lagi ke judulnya, saya ibarat ikut-ikutan menatap kambing selama 1,5 jam lewat film ini. Ngapain coba? [C-] 30/10/11

Sabtu, 29 Oktober 2011

Resensi Album: Bjork - Biophilia (2011)


Acapkali Bjork merilis album, saya tak bereaksi lebih. Macam ekspresi, “oh, iya… mmm, gitu… oke deh” karena saya yakin bahwa pasti tak bakal sembarangan dan stabil. Malahan mungkin saja ada fitur-fitur baru yang memikat, laiknya kita menunggu produk-produk baru atau operating system andalan Microsoft.

Bjork telah dikenal banyak orang sebagai penyayi asal Islandia yang nyentrik, tampil polos, unik, dan gotik. Ketakbiasaannya itulah yang membuat ia dengan segala kekhasan aksen bahasa Inggris-nya spesial bagi beberapa kalangan dan asing untuk banyak penikmat musik. Dalam album terbarunya, Biophilia, Bjork tak meledak-ledak melakukan improvisasi. Kalem, sedikit meletup, dan kurang intimidatif. Usia dan pengalaman mungkin memengaruhinya. Lagu pembuka, Moon, contohnya. Di sini album dibuka dengan ritme lamban iringan denting harpa. Masih, kata-kata favoritnya tersebar dimana-mana: Gods, saliva, adrenaline, dsb. Menurut saya lagu ini bercerita tentang sebuah fase atau kehidupan baru. Lalu, kenapa dan apa hubungannya dengan “bulan”? Hal seperti inilah yang membuat saya terpikat dengan Bjork. Mungkin saja judulnya mengacu hanya pada keisengan membayangkan sebuah kehidupan baru ketika sedang asyik memandang dan memuja bulan.

Lagu berikutnya, Thunderbolt. Masih lemas dan menyinggung pengharapan keajaiban atas perdamaian. Favorit pertama saya secara berurutan ada di lagu ketiga, Crystalline. Utuh sekali antara judul lagu, lirik, dan musik. Kehebatan umum karya Bjork. Ketika kita membayangkan bakal seperti apa jadinya lagu berjudul Crystalline, ya seperti itulah adanya. Terlebih lagi dengan diisi syair motivatif dan berbalut metafora konstelasi langit. Yang berikutnya, Cosmogony, juga instan menjadi favorit saya. Melodik dan Bjork berani bermain dengan interpretasi. Lembut dan damai hembusan alunannya. Bagi yang menunggu nada seram khas Bjork, ada di Dark Matter.

Hollow. Bjork-ish lagi. Spiritualisme terkait roh nenek moyang, klenik, dan fantasi. Anda selama kurang dari 6 menit akan diajak Bjork merasuk ke dalam dunia transendental dengan latar musik ritus. Uh, di urutan ke-7 ada intro musik yang menyambut manis kita. Sederhana dan ternyata berbicara tentang cinta walaupun judulnya Virus. Sudah bisa membayangkan tentunya ketika Bjork berbicara tentang cinta dengan memakai kata virus. Lagu tentang memaknai pengorbanan dan memohon, Sacrifice, ada persis setelah Virus. Ada bagian musik mengamuknya di sini. Tetap elektronik dan muncul tiba-tiba pun hilang tiba-tiba. Urutan lagu romansa dalam album ini dilengkapi dengan Mutual Core. Entahlah, saya kok malah berpikir ngeres atas liriknya. Tapi sebenarnya mungkin tak demikian. Coba saja interpretasikan sendiri…

Lagu penutup, Solstice, yang beraroma musik senyap khas kecapi Jepang sangat atmosferik apalagi jika kita dengarkan dalam keheningan dan mode suara diatur surround apalagi berkanal 4 spiker aktif. Khusyuk sekali. Bersyair tentang segala keutamaan dalam diri yang bisa membuat hal muram bisa nampak terang. Siapa lagi kalau bukan Bjork yang mampu mengumpulkan keadaan-keadaan kecil (seperti ketika mata kita berkedip, liur mengalir, dsb) untuk disematkan dalam karya-karya yang mendalam. Dengan artikulasi yang jelas dan aksen Islandia, tiap kata yang dinyanyikan Bjork menjadi tajam dan hidup. Seperti album-album Bjork lainnya, Biophilia tetap bangga dimasukkan dalam discography-nya Bjork. [B+] 29/10/11



Kutipan dari bjork.com:
for me the project is a continuation of volta and whereas volta is more about anthropology, this is kind of without humans and both zooming out like the planets but also zooming in into the atoms and in that way aesthetically sympathising with sound and how sound moves and physics of sound and how notes in a room behave, how they bounce off walls and between objects and its kind of more similar to how planets and microscopic things work.

track list

01. moon 5:41

02. thunderbolt 5:15

03. crystalline 5:07

04. cosmogony 4:56

05. dark matter 3:23

06. hollow 5:49

07. virus 5:22

08. sacrifice 4:39

09. mutual core 5:11

10. solstice 4:30

Senin, 24 Oktober 2011

Resensi Album: Coldplay - Mylo Xyloto (2011)


Kelar sudah penantian album gres dari band Inggris setelah 3 tahun jeda pasca-Viva La Vida. Coldplay merilis Mylo Xyloto dengan tanda tanya yang agak menggemaskan. Sepertinya saya harus membeli cd aslinya supaya bisa baca buklet dan tahu lebih lanjut apa sih mau mereka dengan judul album yang janggal dan konsep grafiti jalanan ala US ini.

Tanpa berpanjang-panjang membahas album ini, saya ingin menyampaikan kekecewaan saya pada album yang sempat oleh Chris Martin disebut-sebut (kemungkinan) berpeluang menjadi album terakhir Coldplay lantaran energi mereka telah terkuras habis untuk Mylo dan minder pada Adele atau Bibier (pengakuan hiperbolik-sarkastik yang aneh?). Empat belas lagu tak ada yang cukup membuat saya terkesima padahal saya sudah menanti-nantikan kejutan. Secara umum, tak ada lirik spesial. Standar dan pointless karena terlalu umum dan semu.

Konsep albumnya, hembusan perdamaian di tengah-tengah kekacauan dunia. Tapi tak manjur, melempem, malahan jatuh ke syair lembek. Musiknya? Ah… Martin dkk. terlalu hiperaksi dan berisik. Main di refrain, susunan tracklist kalem-sangar-kalem-sangar dengan selang-seling track-track bersambungan. Album ini cocok sekali buat setelan lagu kala berkendara dengan mobil. Tak perlu urus lirik, yang penting melodinya gampang dikenang. Apalagi disetel dengan mode surround. Pasti bakal meraung-raung dan atmosferik laiknya dalam stadion besar. Namun, lagi-lagi… (untuk ukuran Coldplay) liriknya payah. Satu-satunya idola saya malah mungkin (tak begitu yakin dan kuat) jatuh pada Princess of China yang mana ada Rihanna dalam lagu kisah cinta kelam itu. Sebagai catatan, ada U.F.O. yang dengan senang hati mengingatkan kesederhanaan khas mereka.

Sejak Mylo Xyloto, saya rasa Coldplay telah memapankan diri sebagai grup band pop. Tak masalah dan sah-sah saja dengan hal itu. Tapi bagi saya atau fans lain yang mengikuti perjalanan sejak awal karier mereka terang-terang harus rela kehilangan ruh muasal Coldplay. Yang mereka lakukan bagi saya bukan reinvention, melainkan following their disguised-passion. Bagi saya itu sebuah inkonsistensi dan pembiasan karakter dari sebuah band besar. Tapi yang terpenting, mereka masih mau jujur bahwa mereka suka dengan karya kreasinya. Tak memaksakan diri menghasilkan karya yang memuaskan fans lamanya. Sebuah situasi bak dua sisi mata uang. Tak ada lagi yang bisa diharapkan… Nikmati saja resep yang ada, tak usah banyak komplain. Itu cara terbaik menikmati Mylo Xyloto. [B-] 23/10/11

Tracklisting:

Mylo Xyloto
Hurts Like Heaven
Paradise
Charlie Brown
Us Against The World
M.M.I.X.
Every Teardrop Is A Waterfall
Major Minus
U.F.O.
Princess of China
Up In Flames
A Hopeful Transmission
Don't Let It Break Your Heart
Up With The Birds

Senin, 17 Oktober 2011

Resensi Film: The Tree of Life (2011)

Sudah ada embel-embel tulisan Palm D’Or diapit sepasang tangkai gandum pada cover film ini. Pohon kehidupan, sebuah judul yang elegan penuh maknawi. Begitulah inti filmnya. Menjajal diskusi hal-hal tabu bagi kaum sekuler: Tuhan, hidup, mati. Sejenak kita akan membayangkan bagaimana kemasan sebuah film jika hendak memaparkan hal-hal bertema besar seperti itu. Sorot utama tersebut terang lebih mencuat ketimbang parameter sinematik lainnya dalam film berdurasi 2 jam lebih ini.

Dua aktor besar Hollywood: Brad Pitt dan Sean Penn bermain, tapi tak saling beradu akting. Tak ada adegan yang menuntut olah peran khusus, karena Tree lebih merupakan “produk” Discovery Channel berbalut drama intim. Sejak menit awal saya berani jamin bahwa tiap penonton Tree akan terpesona dan takjub dengan sinematografinya. Tercantik sepanjang saya menonton film! Indah dan membuai. Mungkin tak seluruhnya pujian dialamatkan kepada sinematografer, melainkan juga untuk divisi penyuntingan karena tak semua pengambilan gambar benar-benar baru. Co-paste gambar pun tersusun harmonis.

Sebuah film kontemplatif dalam sajian fotografis ber-caption. Begitulah cara saya menyebut film Tree. Sama sekali bukan film sandiwara. Di dalamnya kita akan disuguh monolog, gambar apik, musik klasik, seriosa ciamik, dan beberapa plot “bisu”. Saya menyebut bisu karena sangat kurang verbal dan cenderung artifisial. Kondisi ini membuat saya hampir kebosanan, untung saja fotografinya mumpuni. Sebagai sebuah produk film cerita, Tree benar-benar abnormal. Sebagian waktunya diisi dengan penjelasan asal-muasal terbentuknya bumi, padahal nantinya diisi dengan roman kehidupan keluarga.

Untuk ukuran karya eksperimen, Tree terobosan luar biasa dan fantastis. Untuk ukuran film cerita, ia agak membingungkan. Dahi saya sempat mengernyit. [A-] 16/10/11

Rabu, 12 Oktober 2011

Resensi Film: Oldboy (2005)

Saatnya saya harus mulai melirik film Korea. Betapa tidak? Film besutan Chanwook Park ini membuka mata dan hati saya (sepertinya saya mulai bombastis…) Jangan salah kira dulu, film berdurasi hampir genap 2 jam ini melebihi kebutuhan sensasi sinematik saya. Bak putaran sentrifugal, ketika saya hampir meraih pusat pusaran selalu saja ekor bidiknya menjauh.

Pertama-tama, cerita filmnya. Sangat sederhana dan agak gila. Seorang pria disekap secara misterius dalam sebuah kamar berfasilitas lengkap tanpa ia ketahui siapa pelakunya, apa alasannya, dan akan sampai kapan ia di sana. Hari demi hari berlalu, bulan, hingga tahun. Sampai dengan 15 tahun lamanya, ia tahu-tahu dibebaskan. Jangan harap begitu saja ia bebas, ternyata kehidupannya masih terus diintai si penyekap. Ada apa ini? Kenapa harus menunggu 15 tahun?

Misteri terus menggelayuti penonton Old Boy. Paling tidak, itu yang saya rasakan. Walau sebenarnya tak tahan melihat beberapa adegannya yang kejam dan bengis. Darah seamsal sirup. Kalau bukan karena bangunan teka-teki yang kuat, saya pasti sudah pensiun dini menikmati film KorSel ini. Pertanyaan apa dan kenapa terus-menerus meneror si korban. Sampai-sampai tertanamlah dendam kesumat di dadanya. Keluarganya hancur, isterinya dibunuh, fitnah dilayangkan kepada dirinya sebagai pembunuh isterinya. Sang anak tak diketahui secara jelas karena hanya ada kabar ia diadopsi oleh keluarga Eropa. Tak hanya karakter korban yang penasaran, saya pun demikian.

Sinematografi luar biasa menemani saya sejak awal hingga akhir film. Pemilihan warna, angle, teknik handheld, sampai fitur dramatisasinya… teramat pantas dan pas. Kapan ia mewakili sudut personal, kapan ia harus ke salon fotografi, sang strada paham betul memilihnya. Musik pengiring pun tak mau kalah mendalamnya. Bahkan, sejak detik pertama film bermula. Tak hanya komposisi orkestra (beberapa dari notasi judul terkenal) namun juga alunan kontemporer berpadu menyatu dengan babak film.

Yang perlu saya acungi dua jempol selain untuk strada Park yakni pemeran pria utamanya. Aktingnya menggetarkan, menjadi karakter utuh seorang korban kejahatan yang sangat langka (bahkan mungkin belum pernah ada) dalam sejarah kriminalitas. Adegan seks eksplisit di dalam film pun tak mubadzir dan terampuni karena amat fundamental bagi perjalanan plot berikutnya. Saya pikir, kalau adegan seks tersebut dienyahkan malah bakal kurang terasa efek pilunya.

Secara konten, banyak pesan yang ingin disampaikan film ini. Tentang hak hidup manusia. Tentang mulutmu harimaumu. Tentang cinta. Dan silakan Anda cari sendiri hal-hal lainnya. Setelah menuntaskan film ini, saya mengumpat. Saya tak sudi menonton berulang kali. Ini mencetak pengalaman baru bagi saya. Satu lagi sensasi aneh dari film aneh yang bakal menyejarah dalam jajaran daftar film tontonan saya. [A] 11/10/11

Senin, 10 Oktober 2011

Resensi Film: Kick-Ass (2010)

Lihat saja judulnya. Sudah ketahuan genre dan pangsa pasarnya. Yang menarik kan apa bakal ada kejutan di dalamnya. Siapa ingin jadi pahlawan super? Gagasan awal film ini berandai bagaimana jika merealisasikan eksistensi pahlawan-pahlawan super khas komik dalam kehidupan nyata. Seorang pemuda berkacamata, culun, dan kikuk yang “tak spesial” dan sering jadi sasaran bullying ingin mengubah keadaan itu. Ia mangkel dengan pemandangan orang yang hanya diam tak berbuat apa-apa ketika melihat ada tindak kekerasan dan kriminal. Oke, seketika jadi mengingatkan sejarah kanak-kanak Hitler yang bukannya membuat ia ketika besar menjadi macam Superman atau Spider Man malahan jadi monster sejarah perang dunia.

Kostum dipesan, dipakai, dan temui proyek pertama. Melawan duo penggangu langganan. Lalu… bretttt. Alih-alih jadi pahlawan kesiangan, yang ada ia malah jadi korban lagi dalam versi yang lebih parah. Tapi jangan salah, ia tak berhenti hanya di situ saja. Dalam petualangan berikutnya, ia menjalani kebetulan-kebetulan yang tak terbayangkan dan membuatnya terkenal seantero negeri sebagai pahlawan kesiangan nan kesohor dan inspiratif.

Momen kejutan tak saya dapatkan. Maaf sekali… Sejak awal komedi mengalir tak konstan, ditambah dengan subplot yang kesana-kemari meninggalkan jalur utama. Lama-lama Anda akan merasa bukannya menonton Kick-Ass tapi malah film pesta kostum karakter komik dan aksi sok brutal nan sadis imitasi Kill Bill-nya Quentin Tarantino. Musik latar yang dikonsep satir, dengan berkali-kali menyadur notasi judul-judul superhero, pun ikut-ikutan mengganggu. Saya menyebutnya komedi semiparodi supertanggung. Dibilang lucu ya kurang, dibilang orisinil ya tidak, dibilang hancur ya belum. [C] 08/10/11

PELIT

Pernah punya teman atau kenalan yang doyan melayangkan kata pelit jika ia tak ditraktir? Saya percaya, setiap kata itu adalah cerminan karakter pribadi. Pelit. Seberapa pun nilainya si pengidap penyakit ini akan tetap arogan. Tak bisa ditawar, seolah-olah itu gengsi bahkan harga diri. Sebelum melangkah lebih jauh, sebaiknya dibedakan mana itu pelit mana itu hemat karena dua hal ini sering berebut porsi debat.

Hemat kalau di negeri jiran kita Malaysia disebut jimat bagi saya merupakan gaya hidup disiplin dan terencana. Ia beda dengan pelit karena punya sifat yang tak mengganggu hak lain. Gampangnya begini, dua mahasiswa kos pergi makan bersama di kantin. Satunya baru dapat undian “hujan beliung runtuh (whatever)” rezeki semilyar sedang yang satunya belum dapat kiriman wesel orang tua. Habis makan si pemenang undian bayar hanya untuk makanannya sendiri dan tidak mentraktir temannya yang lagi bokek. Apa dia pelit? Bagi saya, ya jelas tidak. Kalau mau ditraktir ya yang minta coba bilang saja apa adanya. Kalau beruntung ya dikasih, kalau tidak ya tak usah mencak-mencak. Mau ngambek? Aneh.

Nah, pelit itu lebih ke itung-itungan tapi tak peduli hak orang lain dan bahkan melanggar. Semisal lembur paksa tak dibayar, tak diberi makan, pun tak ada ucapan terima kasih apalagi kata maaf. Beda pelit dan hemat bakal terlihat dalam posisi kita menawar harga. Yang pelit pasti tak bakal memaklumi keberuntungan atau faktor-X, sedang yang hemat masih mau memaklumi. Misal, perubahan harga karena beda hari, beda stok, dan sebagainya. Yang pelit pasti bakal menghakimi si penjual itu nakal jika tak mendapat harga yang termurah, sedangkan orang hemat masih mau menerima dan tinggal pindah dan cari ke penjual lain saja. Yang hemat memeringkatkan factor tak boros di atas factor perbedaan harga. Dalam beberapa hal tak semua orang diperlakukan sama sebagai pembeli. Dan itulah rezeki. Orang yang menjengkelkan kebanyakan malah tak mendapati diskon yang diinginkan.

Tujuan antara hemat dan pelit pun berbeda makanya jalurnya juga demikian. Terkadang saya hanya tertawa (jika keterlaluan, jadi prihatin) dengan sebagian orang yang menganggap kalau tak pernah mentraktir itu pelit. Ya ampun, dangkal sekali pemahaman mereka. Seraya sambil berdoa kepada Allah swt supaya orang-orang yang demikian diberi hidayah. Amin… Percaya atau tidak, orang-orang yang demikian itu banyak dirasa menyebalkan ketimbang menyenangkan. Hemat bermuara investasi, pelit bermuara egomaniak (pemuasan hasrat diri). Tiba-tiba saya jadi ingat Bang Madit (Islam KTP)…