Minggu, 31 Juli 2011

Resensi Film: Sang Pencerah (2010)

Mau apa lagi Hanung? Ia salah satu strada Indonesia yang konsisten, baik mutu maupun produktivitasnya. Sejak Catatan Akhir Sekolah, saya jatuh cinta terhadap karya-karyanya. Meskipun beberapa judul terbilang biasa saja dan tak menarik hati, tapi tetap saja ia sukses membuktikan eksistensinya.

Sang Pencerah (SP) berkisah tentang K.H. Ahmad Dahlan (KHAD), sejak ia dilahirkan hingga mendirikan organisasi sosial Muhammadiyah. Melihat judulnya saja swerem... ngeri. Saya tak perlu banyak cerita ihwal sinopsis di sini karena ceritanya jelas, dokudrama semibiografi. Lewat banyak tebaran pemain selebritas, SP coba merekonstruksi tantangan dan keteguhan KHAD. Kalau boleh saya bagi, ada 3 babak besar subplot film ini: (1) kecemasan spiritual KHAD, (2) purifikasi dan ijtihad beserta tantangannya, dan (3) cikal-bakal Muhammadiyah.

Rona temaram kekuningan sarat khas pelita obor sebagai nuansa sinematografi SP membuai penontonnya lebih merasa mengalami langsung kesan artistik Jogjakarta era peralihan abad ke-19 menuju abad ke-20 dalam suasana musik dawai melankolis dan lagu Lir-Ilir termodifikasi. Saya tak merasakan gangguan anakronisme. Yang membuat saya agak kurang sreg dengan film ini adalah kurang tegasnya pemecahan masalah pada tiap babak plot utamanya, selalu menyisakan lamunan bahwa kenapa sudah beralih subplot?

Banyak adegan eksplisit tataran filosofis yang terkesan standar karena mudah ditebak dan sering kita lihat dalam film-film Barat sehingga kita tak memperoleh sensasi berdirinya bulu kuduk. Dalam segi pemeranan, perlu saya apresiasi untuk aksi debutan Ihsan-Idol. Sayangnya, dari segi peran protagonis kenapa Lukman Sardi melulu? Bukannya tak suka dengan akting Lukman namun bagi saya ia terlalu overekspos alias keseringan jadi orang bijak. Ini perkara subyektivitas.

Secara keseluruhan, SP cukup rapi dan apik. Namun, lagi-lagi yang menyisakan tanda tanya bagi saya adalah untuk apa film ini dibuat? Saya belum mendapatkan pencerahan hingga akhir film. Ibarat mengonsumsi versi kreatifnya sebuah buku pelajaran sejarah. Tentu kenyataan ini berbeda ketika saya menonton The King’s Speech yang walaupun bercerita tentang kegagapan tokoh sentralnya namun punya visi jelas mengantarkan penonton pada wahana renungan indahnya persahabatan.

Geli juga ketika mengulas balik kisah minus SP dalam nominasi-nominasi FFI lantaran tim juri menganggap film ini tak otentik. Sebuah alasan kekanak-kanakan. Saya kembali teringat Hanung yang membalas pernyataan seperti ini, “apa mereka pernah ngopi bareng dengan KHAD sehingga bisa mengganggap SP tak otentik?” Maju terus Hanung. Tetaplah berkarya, karena dalam karya terburukmu sekalipun masih saja jauh lebih berkualitas ketimbang mayoritas produksi film Indonesia. Kalau perfilman Indonesia mau maju, SP harusnya menjadi batas standar minimal kualitas film Indonesia. [B-] 31/07/11

Resensi Film: Harry Potter and the Deathly Hallows Part 1 (2010)

Saya tak ingin menyalahkan mood saya ketika menonton film ini. Tak juga karena saya bukan Potter-mania. Tapi memang karena film ini terasa melempem dan frustrasi. Tapi silakan enyek-enyek saya lantaran kasih komentar meski tak membaca bukunya dulu. Sebuah film adaptasi harusnya berdiri sendiri, tak perlu penontonnya membaca buku terlebih dahulu.

Untung saja bagian pertama seri terakhir Harry Potter ini tak disajikan dalam format 3D, karena minus aksi dan efek yang bakal aduhai jika dinikmati dalam sajian trimatra. Alur berjalan amat lambatnya, membuat menguap berkali-kali. Walau beda kelas, saya jadi merasa seperti melihat sinetron "Puteri yang Ditukar" dan sejenisnya. Diulur-ulur, inefektif, dan pointless.

Dalam jilid pertama ini, saya kurang menangkap gereget Potter vs Voldemort. Petualangan trio Potter-Ron-Hermione pun kurang intim sekalipun dalam adegan kritis. Terlalu banyak suntingan fade in-fade out. Beda sensasi yang ditangkap ketika menikmati trilogi Lord of the Rings yang membuat akhir tiap serinya secara bijak. Membuat penasaran terselubung dalam kemasan puitis.

Satu-satunya adegan yang saya beri apresiasi adalah ketika Hermione berceritera tentang kisah ihwal apa itu relikui kematian? Pengadegan langsung berwujud semi-3D dengan monolog yang proporsional.

Semoga pungkasan film Harry Potter tidak demikian. Bagi saya, jilid 1 ini menjadi versi extended yang menjemukan. Sama sekali tak merangsang. Kalau bukan karena ia punya 6 seri pendahulu pasti saya enteng berucap "skip it out". [C] 31/07/11

Jumat, 15 Juli 2011

Etos Kerja


(sumber: http://kadisaputra.multiply.com/photos/album/5/Karikatur_PNS#photo=5)

Resensi Film Dokumenter: Panggung Kasetyan Balekambang (2005)

Dokumenter tak ada matinya. Lugas, tanpa tedeng aling-aling, terkadang liar, bahkan ngawur. Meski tak sedikit pula yang berpoles ria di sana-sini. Tapi toh tujuannya menyampaikan suatu pesan dengan cara yang lebih personal. Kali ini saya mendapati satu judul yang diberi seorang teman dari Rumah Sinema, diambil dari “In-Docs, DocuBox Vol. 8: Seri Pemeliharaan Lingkungan dan Tradisi”.

Saya kira film dokumenter nonfiksi Panggung Kasetyan Balekambang mau bercerita tentang kehidupan penuh peluh pedagang bunga di Pasar Bunga Solo, namun saya keliru. Ternyata tentang kesenian kethoprak Balekambang, 0-1 saya tertinggal. Lantaran di awal film tak spesifik menggambarkan mau bercerita ihwal apa film ini. Dua puluh menit panjangnya berisi (ibarat) diskusi panel infotainment namun tanpa presenter aduhai. Ada tiga kubu: seniman Kethoprak Balekambang, pemerintah, dan budayawan.

Babak awal, apa arti kethoprak bagi komunitasnya. Kedua, mengapa masih bertahan. Ketiga, mau dibawa kemana. Jelas sangat menarik membahas tema sejenis ini, upaya pelestarian produk seni. Saya tak akan membahas substansi di sini, karena forumnya akan lebih menarik jika diperbincangkan dalam forum diskusi. Yang jelas, film ini berujar tentang itu tanpa menggiring penontonnya condong terhadap satu kubu meski secara porsi pengadegan lebih banyak lewat seniman-sentris.

Sudut lusuh nan kumuh Panggung Seniman Muda di Balekambang sayangnya tak dieksploitasi secara dramatis oleh tim kreator (Fajar Nugroho & BW PurbaNegara). Saya butuh sentuhan lebih. Sesuatu yang membuat diri jengkel, iba, bahkan tergerak. Inilah perbincangan yang takkan ada habisnya dikupas. Sebuah cerminan kereta zaman yang digerakkan oleh bahan bakar berlabel kepedulian. [C] 14/07/11 (link: http://www.in-docs.org/directories/documentary/panggung-kasetyan-balekambang-the-unwavering-ketoprak-balekambang/id)

Sabtu, 02 Juli 2011

Resensi Film: Source Code (2011)

Terbangun dalam raga orang lain dan berkali-kali mengulangi kejadian sama. Itulah yang dialami karakter utama film Source Code. Ia belakangan menyadari bahwa sedang menjadi kelinci percobaan proyek pertahanan rintisan pemerintah dalam mendulang informasi terorisme. Prinsip kerjanya cukup rumit dan susah untuk dijelaskan karena saya sendiri kurang paham dan tak begitu percaya dengan kemungkinan mekanik seperti itu, yakni memanfaatkan sisa gelombang elektromagnetik (dianalogikan dengan proses fenomena halo) otak milik jasad yang baru saja tewas guna menyusup dalam memori kejadian historis.

Namun jangan keburu salah sangka dulu bahwa saya lantas mencak-mencak. Dan anehnya lagi, makin kemari makin bisa menikmati ritme film. Perlu dicatat, jarang sekali penonton bisa enjoy apabila sejak awal sudah tak percaya dengan premis-premis pembangun cerita. Satu poin penting keseruan film ini adalah penonton diajak menebak-nebak siapakah pelaku teror bom. Berset di dalam gerbong kereta dan berulang kali terjadi ledakan dari kejadian yang sama. Dia ibarat rekaman yang diputar berulang kali dan si tokoh utama disusupkan untuk mencari pelaku teror bom dalam waktu 8 menit. Apabila gagal dan belum mendapat kejelasan, maka ia diterjunkan kembali ke 8 menit terakhir sebelum kereta meledak. Begitulah seterusnya sampai ketahuan siapa pengebomnya sehingga ancaman teror bom berikutnya bisa dihindari.

Meski enjoy, ada hal yang sangat mengganjal saya terhadap film ini. Saking visioner dan fiksinya ide dasar film ini, maka kecolongan juga silogismenya. Kebetulan saya menonton ramai-ramai dan di situ ada ambiguitas ihwal penyusupan jiwa dalam sebuah raga. Semua senada. Silakan tonton sendiri dan dapati sensasi meragunya. Ditambah lagi dengan pilihan ending yang kurang ulung. Ada adegan yang seharusnya lebih tepat dipilih sebagai pemungkas. Sayang sekali... Poin penting kedua yang tak kalah utamanya adalah penetrasi humanisme dalam plot fiksi ilmiah. Tanpa unsur yang satu ini, tontonan fiksi ilmiah macam apapun dengan cara ia diolah (sekalipun digarap Om Spielberg) tetap saja mubadzir karena menjadi tak utuh. Untungnya, Source Code cukup ringkas dan cergas mengantisipasinya. [B] 02/07/11