Alfred Hitchcock. Mmm…
sepertinya satu nama besar dan tersohor. Saya belum kenal siapa dia. Lewat Psycho, dan saya pun mulai kenal dia…
Film monokrom berdurasi hampir 2 jam ini saya tonton berawal iseng-iseng saja.
Penasaran karena saking terkenalnya judul film ini. Adegan awal menampilkan
sepasang sedang menyudahi aksi ranjang di sebuah kamar. Di seling-seling konversasi
antarkeduanya, kecupan demi kecupan bibir silih berganti mendarat. Tak ada yang
mau kalah. Mesra banget.
Sampai situ saya belum punya ide,
perihal apa film ini akan bertutur. Ow!
Saya baru tercerahkan tentang direksi film ini sejak (sekurangnya) adegan
ketiga dan seterusnya. Seorang pegawai-wanita senior sedang membawa kabur uang
perusahaan. Ia buron. Di sepanjang pelariannya, si pegawai merasa terteror,
cemas, dan was-was.
Dengan mengikuti perjalanan melarikan
diri si pegawai ini saja, saya sudah dibuat tercekam. Kuat di olah mimik dan penghematan
adegan. Mengapa hemat? Karena dalam beberapa rekonstruksinya, adegan-adegan
diakronis hanya terselipkan sebagai suara-suara pikiran. Meskipun penonton
tidak mendapat gambaran adegannya, namun kita tahu bahwa ada kelanjutan cerita
di belahan ruang yang lain. Saya tak sangka, ternyata pola yang menurut saya
komikal ini sangat efektif dipakai oleh Hitchcock. Sederhana tapi jenius.
Ini belum seberapa… Masih ada
lagi kelanjutan plot yang lebih bisa membuat kita paham kenapa film ini
berjudul psycho. Hitam-putihnya layar
film malah membuat atmosfer dramatis penuh ketegangan mampu terbangun sempurna.
Ni strada bikin drama psikologis jadi hiburan kelas tinggi. [A-] 22/03/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar