Daya pikat film ini terletak
pada stradanya, Gus Van Sant, yang telah kita kenal sebagai salah satu strada
“nyeni” tapi tak nyentrik. Karya kreasinya macam Good Will Hunting dan Elephant
menjadi beberapa yang bersinar. Terlebih untuk yang disebut terakhir, yang berpredikat
sebagai film Palem Emas. Apa proyek Gus Van Sant di Promised Land?
Sudah berwujud firasat dalam
diri saya sejak durasi awal menonton bahwa Promised
bakal hambar. Tak bisa saya jelaskan secara rinci mengapanya. Firasat saja.
Titik. Gambar-gambarnya aduhai, olah warna-warna lembut mendominasi bingkai
demi bingkai gambar. Pengoperasian kameranya sabar, rapi, dan presisi. Musik
pengiringnya pun manis. Tapi sesuatu di dalamnya seperti ada yang tak sinkron.
Film ini berasa kurang punya ruh.
Ceritanya tentang konspirasi dari
korporasi eksploitir sumber daya alam. Suatu perusahaan gas sedang merayu warga
pertanian di wilayah terpencil yang taraf hidupnya tak bisa dibanggakan secara
finansial. Perusahaan itu mengirim dua utusan “perayu”-nya ke tengah warga,
membujuk mereka supaya mau sewakan lahan. Meski saya stop di sini sinopsisnya,
pasti sudah ketebak bakal kemana alur cerita menggelinding.
Sejak cukup dini film ini
cacat kejutan karena saking umumnya logika plot. Jadi PR-nya harus punya penawaran
ekstra. Secara teknis, sebenarnya bisa sedikit penuhi dahaga tuntutan keekstranan
itu. Namun… ternyata guna membangun film ini kebutuhannya lebih dari sekadar
faktor teknis ala pendekar. Untuk ukuran Gus Van Sant, film ini kebablasan
biasa. Serba nanggung. Ada satu adegan di dalamnya yang sangat menghibur saya
secara emosional. Yakni, tatkala seorang bocah penjual limun tak mau terima
sisa kembalian meski dipersilakan oleh si pembeli, ia hanya mau terima sesuai
harga yang telah tertulis. Duh, ni adegan
sederhana banget tapi nampar. Di atas
semua itu, bagusnya, film ini tanpa adegan seks. [C+] 29/04/13