Deposuit
Potentes de Sede et Exaltavat Humiles (Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan
yang Terhina)
Itulah petilan kalimat penutup tetralogi Buru
dari maestro Pramoedya Ananta Toer, Rumah
Kaca. Keriuhan di sekitar saya saat membaca bagian akhir tak terhiraukan
karena saking khidmat nuansa plotnya. Saya syukuri telah khatam buku ini meski
butuh lebih dari sebulan lamanya. Bukan karena tak menarik atau karena
faktor-faktor lain yang berasal dari bukunya, melainkan karena alasan pribadi
sahaja.
Rumah Kaca berkutat pada konflik
diri Pangemanann, seorang arsiparis observan kolonial yang ditugasi mengamati
aktivitas pergerakan nasional dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Tak
butuh membaca lengkap seri-seri sebelumnya untuk melumat seluruh isi
roman ini. Saya saja baru membaca seri pembuka, Bumi Manusia. Kedua seri lainnya belum. Pram senantiasa tetap
membawa kita bergulat dengan rekonstruksi roman sejarah dan aspirasi lewat
perspektif mendalamnya.
Mengapa bangsa Hindia seperti itu? Itu yang
seperti apa? Dalam novel ini Pram menuangkan gagasannya secara apik lewat
percakapan antarkarakter kreasinya yang berkelindan dengan
tokoh-tokoh historis walau tak bersentuhan secara langsung. Pandangannya
universal, menyibak persoalan tak hanya dari sudut pandang dalam tempurung.
Kata atavisme pun saya temukan dalam diksinya. Belum pernah saya dengar, lihat,
atau baca kata tersebut sebelum menikmati Rumah
Kaca.
Lebih personal lagi, novel ini soroti pertaruhan
prinsip, filosofi, atau (bahasa mudahnya yakni)
pegangan hidup. Saya suka sekali ketika sebuah judul besar tak hanya membahas
yang ndakik-ndakik, melainkan juga
merendah hati berwibawa. Secara keseluruhan kisah, memang tak sebegitu
manuveristik. Rumah Kaca pun tak cukup mengharukan. Kisah ditutup dengan
transkripsi sebuah pucuk surat. Itu lebih dari sekadar
cukup. Bahkan mengagumkan… 29/05/12