Minggu, 25 Oktober 2015

Coretan: Antara Rumah, Keteraturan, dan Kesederhanaan

Sudah genap sebulan saya pulang. Pulang dalam artian kembali ke pelukan keluarga yang hangat, kembali ke tempat di mana saya maknai sebagai rumah kepadanya. Rasa senang dan lega memang sudah jadi jaminan saya nikmati. Namun, apakah ada secuil rindu yang tersisa untuk entitas selain rumah?

Beberapa hari yang lalu, sahabat lama sejak masa putih abu-abu tiba-tiba mengirim pesan BBM menanyakan posisi terkait penggantian display picture akun BBM saya. Dia bertanya, “Lagi di mana saiki (Jawa: sekarang)?” Alih-alih spontan menjawab, saya meneruskan kalimat tanya sederhana itu ke diri sendiri. Sebenarnya menjawab pertanyaan itu supergampang, yang membuatnya problematis adalah memahami alasan dan motif di belakangnya. Mengapa kalau sudah pulang, tampilan yang saya pamerkan di akun media sosial masih saja foto-foto semasa pengalaman dua tahun berselang. Apakah memang untuk sekadar pamer kalau pernah bepergian ke banyak lokasi terkenal di Benua Biru? Saya bakal mengasihani diri kalau memang alasan utamanya sedangkal itu.

Saya kemudian menjawab pertanyaan si sahabat dengan panjang lebar, boleh dibilang berbelit-belit campur curhat. Intinya, saya jelaskan kalau saya sudah pulang tapi sebagian hati dan pikiran masih tertinggal di Benua Biru. Saya ceritakan juga kalau masih saja rindu dengan keteraturan dan keserhanaan hidup di sana, khususnya di Negeri Kincir Angin. Keteraturan yang saya maksud terutama mengacu pada ketersediaan transportasi umum yang mampu menjamin ketepatan waktu sesuai jadwal. Hal lainnya, ia mengacu pada aspek fungsional yakni berjalannya sesuatu sesuai fungsinya, misalnya trotoar ya dipakai sebagai trotoar, halte ya dipakai bus untuk berhenti guna menaik-turunkan penumpang, penyeberangan zebra untuk memprioritaskan pejalan kaki menyeberangi jalan. Sesimpel itu. Tak perlu dibangun mewah, megah, dan mahal. Yang utama fungsinya berjalan.

Poin lain, kesederhanaan yang saya maksud adalah gaya hidup yang tidak semerta-merta materialistis. Suatu budaya yang tak doyan mengukur tingkat kehebatan seseorang hanya dari segi finansial, kaya atau miskinnya, melainkan berdasar kemampuannya (tidak judgmental). Mentalitas macam ini mendorong masyarakatnya tak terlalu pusingkan atribut yang mau dipamerkan. Sebagai satu contoh kecil, jalan kemanapun cukup memilih bersepeda atau berjalan kaki. Tak usah menyalakan sepeda motor atau mobil mewah kalau memang tak perlu. Efek yang langsung terasa jadinya udara bersih nan segar karena minim polusi sehingga kesehatan warganya pun lebih terjamin karena lebih higienis. Bisa dihitung dengan jari berapa kali saya terkena flu kala bersekolah di Negeri Tulips. Ironisnya, tak butuh kurang dari sebulan bagi saya sekembali dari sana untuk terkena flu di tempat yang saya asosiasikan sebagai rumah.

Keluh-kesah ini membuat saya mempertanyakan ulang artian rumah. Jika dalam artian keterikatan emosional interpersonal, tentu jawabannya tetap klise yakni keluarga saya. Namun jika ditanyakan rumah dalam artian geografis, sekarang saya meragu untuk menjawabnya. Bukan bermaksud durhaka kepada Ibu Pertiwi. Tapi perlu kita tanyakan pula apa, siapa, dan konsep ‘Ibu Pertiwi’ itu sendiri. Bagi saya, insan yang baik adalah yang mampu merawat apa yang diamanahkan oleh-Nya. Di negeri yang supermajemuk dari segi kultur ini konon banyak orang yang mengaku religius, tapi di mata saya performa pemaknaan religiusnya masih terasa minim. Sederhananya, lihat saja kondisi aktual di jalanan. Tanpa rasa bersalah banyak pengendara kendaraan bermotor menyerobot hak pejalan kaki, polisi tak tegas tegakkan regulasi, dan lain-lain. Singkat kata, dapat kita saksikan krisis kesadaran diri di sana-sini.

Saya makin mengenal personalitas diri setelah tinggal dan hidup selama dua tahun di lingkungan yang masih menjunjung keteraturan dan kesederhanaan. Sudah jelas bahwa tempat lahir bukanlah suatu pilihan. Namun, kita punya banyak pilihan untuk menyikapinya. Ada yang beradaptasi, berdamai, menolak, dan sebagainya. Untuk saat ini saya memilih untuk tetap memimpikan bahwa keteraturan dan kesederhanaan itu secara gradual akan terwujud, sambil mempromosikan kebaikan atas dua hal itu dalam kesempatan berdiskusi. [25/10/15] 




Satu lagu manis dari Mas John Mayer saya selipkan dalam coretan ini untuk menangkap kesyahduan rasa rindu rumah (yang kali ini secara konteks lebih ke rumah dalam artian geografis).


Minggu, 18 Oktober 2015

Selamat Datang Kembali!

Lama tak menengok dan menulis di blog ini membuat saya kikuk, bak bertemu dengan sahabat lama yang sudah lama tak saling bersua. Banyak kisah yang belum diceritakan dan dituliskan. Dua tahun berselang, tak berlalu begitu saja tentunya, melainkan dipenuhi dengan kejutan-kejutan kecil bersensasi luar biasa, yang tentu saja tertancap sebagai memori inti. Saya memakai istilah ‘memori inti’ ini setelah terinspirasi menonton film animasi Inside Out, yang menurut saya merupakan salah satu film sensasional di 2015 ini. Di film itu ‘memori inti’ merupakan rekaman kejadian-kejadian yang terpilih untuk disimpan secara spesial di benak. Saking spesialnya ia melandasi aspek karakter diri. Nah, apakah pengalaman dua tahun saya menghilang dari blog ini telah melahirkan memori-memori inti? Jawabnya adalah “oh… tentu saja.” Apakah mereka akan memengaruhi karakter diri saya? Jawabnya adalah “kita tunggu dan lihat saja nanti.” Bagaimanapun, saya ucapkan buat diri sendiri: “selamat datang kembali!”