Minggu, 30 Desember 2012

Resensi Film: Perahu Kertas (2012)

Saat novelnya dibaca sana-sini, saya tak ikutan membacanya. Saat filmnya tayang di bioskop dan sempat jadi jawara box office film lokal pun saya tak menontonnya. Sepanjang saya ikuti penayangan film di bioskop INA, baru kali ini saya menjadi saksi bahwa belum sampai seri pertamanya turun poster sudah disusul segera sekuelnya. Jadi di poster sebuah bioskop bisa kita lihat pampangan Perahu Kertas 1 sekaligus yang 2. Ini benar-benar terjadi di bioskop Jogja.

Hingga pada suatu ketika, saya dengar single lagu tema yang dinyanyikan Maudy Ayunda lewat salah satu stasiun radio swasta. Saya seketika terpikat. Baru sejak itu saya mulai tertarik menonton filmnya. Ini sebuah karya novelis muda berbakat Dee yang diadaptasi ke layar lebar oleh strada konsisten Hanung Bramantyo. Tadinya saya sempat ragu, akankah ia nanti terjebak pada adegan serba sok-sokan macam yang saya rasakan dalam Gie. Mas Hanung hampir selalu sukses menyederhanakan kerumitan. Itu kehebatannya. Dan sentuhan ala midasnya lagi-lagi terbukti di Perahu Kertas 1.

Kisah Perahu berkutat pada tema persahabatan dan cinta di kalangan remaja sadar ilmu. Sudut pandang berasal dari salah seorang warga geng-karib bernama Pura-Pura Ninja. Ia mahasiswi yang ria, penuh fantasi, dan suka dongeng serta sastra. Punya pacar, tapi agak lurus. Petualangan keluar kandang pertamanya dari Jakarta ke Bandung untuk kuliah, membawa sejuta dinamika kisah pertemanan dan romansanya.

Sebagai bukan pembaca novelnya, pemilihan pemeran di semua lini saya rasa sudah cukup pas. Mungkin jika kita bertemu dengan para pembaca versi novelnya akan banyak opini yang terlontar. Musik akustik iringannya mengalir membuat penonton terbawa suasana. Penyuntingan gambar dalam beberapa adegan kurang rapi, meski tak memengaruhi secara signifikan terhadap keutuhan plot.

Setelah saya menonton Perahu 1, saya merasa janggal tahu Tanah Surga… Katanya menggondol piala citra untuk kategori film terbaik. Apakah tim jurinya bervisi mencari tema nasionalis untuk diunggulkan meski hasil keseluruhan kurang menggugah penonton? Atau jangan-jangan karena faktor si ketua Parfi jadi salah satu produsernya?

Akhir kata, ini film naratif tulen. Tak baca novelnya pun bisa puas! [B+] 30/12/12

Resensi Film: Argo (2012)

Wow! Itu ekspresi saya untuk Ben Affleck. Aktor sekaligus strada film Argo. Jika saja Ben bukan seorang aktor terkenal, mungkin ketakjuban berlebihan tak bakal terusung. Saya sudah pernah menonton karya-karya Ben (salah satunya The Town). Selama ini tak ada yang mengecewakan. Ia potensial. Dan lewat Argo inilah ia patenkan predikat aktor-jadi-strada yang sukses.

Film berdasar kisah nyata tentang penyelematan 6 warga USA (dari berbagai latar belakang) dari aliran protes keras rakyat Iran penuntut ekstradisi Reza Pahlevi di kedutaan besar USA di Teheran. Sebenarnya mereka belum sempat berstatus sebagai sandera karena mereka berhasil meloloskan diri dari sergapan pemrotes dan bernaung di dalam kedutaan besar Kanada di Teheran. Tersisa satu misi: membawa pulang keenam warga USA tersebut sebelum disandera. Di sinilah keunikan kisah Argo, sebuah penyelamatan besar tanpa campur-tangan adu fisik militeristik. Mau tahu apa strategi pembebasannya? Lihat saja sendiri filmnya.

Film ini ada bumbu politisnya, tak mutlak drama humanisme. Di bagian prolog, kita diantarkan oleh narasi historis yang enak dinikmati. Meski sekejap, kita jadi mampu pegang benang merahnya. Lalu, kita diajak menikmati drama politik hingga sampai pada jelang paro akhir film barulah memasuki pusaran thriller sensasional. Strada berpengalaman saja belum tentu mudah membangun ketegangan film jika terbiasa bermain di zona aman, misal drama haru-biru. Ben bisa!

Baiklah, tak ragu lagi. Saya kira film ini siap masuk keranjang nomine Best Picture Oscar esok. [A-] 30/12/12   

Resensi Film: Test Pack You're My Baby (2012)

Pada dasarnya, saya tak pernah tertarik menonton film yang ada Acha Septriasa di dalamnya. Entah mengapa, padahal belum pernah punya pengalaman traumatis sebelumnya. Seolah-olah saya berfirasat filmnya bakal membosankan. Kali ini saya buka pikiran, mengingat dia mendapatkan piala citra lewat film ini. Poster filmnya yang kam-se’ sempat membuat saya urungkan niat menontonnya. Tapi kapan kita bisa tahu jika tak menjajalnya.

Dari judulnya saja sudah ketahuan tentang apa film ini. Terkisah sepasang pasutri muda berusaha keras dapat momongan. Yang memerankan pasutri di sini yakni Reza Rahardian dan Acha. Plot sederhana namun relevan ini diadaptasi dari sebuah novel laris. Konflik tiap konflik di dalamnya terbilang klise dan sederhana, namun yang membuatnya spesial yakni nuansa wajar ala keseharian. Kita bisa menyaksikan sepasang suami-isteri muda berinterkasi di sini, bukan sepasang aktor-aktris sedang menghafal naskah. Sekali lagi salut untuk Reza yang penampilannya tak pernah mengecewakan. Dalam tiap filmnya, ia pasti punya satu adegan puncak di mana kualitas aktingnya muncul ke permukaan.

Sorotan penting di film ini juga diperuntukkan ke Acha. Beruntung sekali ia mendapat peran yang menurut saya sangat pas ia ambil. Sepertinya tak jauh dari potensi karakter asli dirinya. Makanya, lewat film ini Acha sangat menyatu dengan karakter yang ia perankan. Tak canggung ataupun tak berlebihan. Memerankan seorang isteri karier yang disayangi suami setia, namun dirundung problema susah dapat keturunan.

Bukankah isu macam ini memang kontekstual dengan kekinian? Itu sudah menjadi nilai plus Test. Film ini cukup mencuri hati, hangat bercerita, bercandanya sudah dapat. Lama saya tak dapat film lokal nan kasual, enteng, tapi evokatif. Ini bak doa terkabul… [B] 30/12/12

Kamis, 27 Desember 2012

Resensi Film: ParaNorman (2012)

Akhirnya! Saya temukan film animasi paling bersinar di tahun ini. Paling tidak, dari deretan yang sudah saya tonton. Selamat tinggal untuk Brave-nya Disney-Pixar. Jika ParaNorman masuk dalam deretan nomine film animasi Hollywood terbaik tahun 2012, maka saya akan selalu menjagokannya. Ia bak kuda hitam yang siap mengancam hegemoni industri besar.

Alkisah, ada Norman, seorang bocah pasifis yang punya indera keenam alias bisa berkomunikasi dengan makhluk-makhluk gaib. Ia beramah-tamah dengan arwah mendiang orang-orang di lingkungannya. Hampir semua orang mencemoohnya sebagai orang aneh, dan pembual. Tak luput juga pihak keluarga sendiri. Namun ada satu teman yang memercayainya, lantaran karena ia juga berposisi sama dengan Norman yakni juga menjadi bahan bulan-bulanan teman sekolah. Suatu kejadian besar melanda lingkungannya. Pada saat itu, Norman mampu tampil mengubah stigma yang ada.

Meski tak mudah dikenang, saya berikan apresiasi musik latar gubahan Jon Brion. Dalam beberapa adegan ia mampu memperkuat nuansa dramatis tanpa mencoba merebut perhatian parsial dari penonton. Sebaran lelucon dekat dengan harian warga USA. Beberapa adegan slapstik bahkan sukses membuat saya spontan terpingkal singkat (suatu sensasi yang sudah jarang saya dapatkan). Awas, ada banyak zombie berkeliaran di film ini! Mereka datang dari karya versi Indie tandingan Disney-Pixar. [B+] 26/12/12

Resensi Film: Trouble with the Curve (2012)

Clint Eastwood sangat produktif. Untuk ukuran usia senja macam sineas Eastwood, saya benar-benar tercengang. Sekarang ia tampil sebagai pemeran, bukan strada. Setelah karya terakhirnya Hereafter, saya merasa ia mulai sedikit kehilangan energi drama tipikalnya.

Trouble berlatar dunia bisbol. Di sini Eastwood berperan sebagai seorang pencari bakat pemain-pemain bisbol muda. Hidupnya untuk bisbol. Ia punya putri semata wayang yang sangat cemerlang kariernya sebagai pengacara. Pada suatu saat, seorang sahabat menyurigai makin melemahnya kesehatan si karakter peranan Eastwood. Si sahabat kemudian meminta si puteri pencari bakat mengawasi kesehatan sang ayah. Hubungan magnet berkutub sama muncul di sini, masing-masing keras kepala. Penonton lalu diajak memasuki labirin ego antara pasangan sang ayah dan si puteri ini. Di tengah-tengah kulminasi konflik antara keduanya, muncul seorang pemuda (Justin Timberlake) yang berasal dari masa lalu sang ayah dan menaruh hati pada sip uteri.

Film ini tergolong drama lembek atau softcore, berbeda dengan karya-karya Eastwood yang umumnya terkategorikan hardcore. Tak ada satu pun adegan terkenang, semuanya berjalan lancar, tanpa kejutan berarti. Sangat mudah dicerna dan sangat mudah pula dilupakan. Meminjam (lebih-kurang) motto salah satu bank syariah, Trouble cukup aman dan menentramkan. [C+] 26/12/12

Resensi Film: Ted (2012)

Boneka beruang Teddy hidup! Ini bisa terjadi dalam sebuah film. Kali ini ada di film beraliran komedi berjudul Ted, dengan pemeran utamanya Mark Wahlberg. Karakter yang Wahlberg perankan merupakan bocah kuper dengan impian masa kecil bisa mendapat sahabat sejati. Keinginannya terkabul tatkala di suatu malam natal ia mendapat hadiah boneka Teddy Bear dari ortunya. Di pagi hari setelah malamnya doa terpanjatkan, Si Teddy Bear hidup! Kaget setengah mati awalnya ketika menyadari doanya jadi kenyataan.

Tunggu dulu, bukan di sini cerita dimulai. Saya kira prolog yang naïf dan membahagiakan di atas bakal dimanfaatkan sebagai modal dasar cerita berkembang. Ternyata separonya, saya meleset! Mengapa separo? Ya karena cerita utamanya masih tentang hubungan si bocah yang beranjak dewasa dengan si boneka. Namun, plot bergeser menjadi sebuah kisah sayang segitiga antara karakter Wahlberg, pacarnya, dan si boneka. Tak ada lagi yang naïf-naif dan kepolosan setelahnya. Si beruang pun jadi fasih mengumpat… Saya tiba-tiba merasa dipecundangi dengan beralihnya plot komedi ini, dari dongeng miring keluarga menjadi dongeng komedi parodi ala remaja belasan tahun.

Mila Kunis tampak segar di film ini, mungkin hanya itu saja bonus positif dalam Ted. Selainnya, saya kecewa. Kalau Anda berminat menonton Chucky versi mesum dan doyan bersumpah serapah, saya sangat merekomendasikan film ini… [C] 26/12/12

Senin, 24 Desember 2012

Resensi Film: The Bourne Legacy (2012)

Inilah seri pertama pasca-Bourne ala Matt Damon. Naskah dan penyutradaraan diambil alih oleh Tony Gilroy yang bukan lain merupakan penulis naskah seri-seri Bourne sebelumnya. Ia juga terlibat dalam produksi film thriller politis Michael Clayton. Bukan suatu hal berlebihan jika saya cukup menaruh antusiasme.

Karakter utama dalam Legacy dibintangi oleh Jeremy Renner, yang memang cukup pantas memerankan figur spion galau. Bukan galau cinta-cintaan tentu saja, namun Bourne selalu mengedepankan ihwal pencarian identitas. Kali ini dikisahkan bahwa Jason Bourne tetap berkeliaran mengancam stabilitas badan intelejen USA. Ia tak kasat mata tapi menghantui. Demi mengamankan supaya borok operasi rahasia program intelejen tak bakal dibongkar oleh Bourne atau pihak-pihak lain tak terduga, maka semua agen terlibat hendak dilenyapkan. Nah, disinilah mulai terletak titik tolak perjalanan plot Legacy. Ketika operasi pelenyapan dilakukan, ada satu nama yang kelewat. Ia lolos.

Yah, buru-kejar. Itulah kenikmatan hakiki Legacy. Tak ada yang lain. Plotnya sederhana, tak serumit trilogi Bourne sebelumnya. Sejak awal film, saya sempat merasa sinematografi nan ragu-ragu/kikuk. Tapi setelah drama perkenalan selesai dan tahap buru-kejar dimulai, maka terpanggilah nostalgia Bourne-ish yang ditunggu-tunggu. Musik latarnya kencang berbaur dengan koreografi aksi yang matang. Terlebih lagi dalam adegan klimaks di tengah jalanan tumplak jeepney di Metro Manila.

Kondisi ini mirip sekali dengan Spidey 4. Tercium sekali aroma keteteran terhadap trilogi pendahulunya. Kalaupun masih akan diteruskan, butuh formula pil biru. [B] 23/12/12     

Senin, 17 Desember 2012

Resensi Film: End of Watch (2012)

Kita sering menyaksikan tayangan program televisi yang siarkan secara nyata kejadian patroli dan penyergapan oleh polisi USA dalam pelbagai kasus. Tak jarang di antara mereka yang malah menjadi korban saat bertugas, bukan? Kita pikir… warga-warga USA banyak yang sakit. Nah, film ini merupakan dedikasi teruntuk para petugas pemberani berseragam hitam itu. Sebuah proyek terpuji yang tak saya duga sejak awal film berputar.

Taruhlah film ini sebagai tontonan di bioskop, jika menit-menit awal menjadi acuannya saya spontan jawab “sangat tidak layak” mengingat tipe sinematografinya yang acak-acakan sangat tak bersahabat untuk diproyeksikan ke layar perak jumbo. Bisa jadi memusingkan karena film ini memakai teknik self-recording yang mana teknik ini mulai banyak dilirik oleh industri film dewasa sebagai inovasi atas nama peningkatan efek supaya terkesan lebih nyata.

Tokoh utama End yakni sepasang polisi muda bersahabat yang ditugaskan dalam satu mobil patrol sama. Selengekan, berani menyimpang dari penugasan pimpinan, intinya… mereka progresif. Itu bisa menjadi bumerang tentunya, karena selain mungkin saja mereka mampu berikan kontribusi lebih pada lembaga namun bisa juga mereka membahayakan diri mereka sendiri.

Setelah kita menyatu dengan premis film, kita akan sangat menikmati kemajuan alur cerita. Baru tahu sebab kenapa si strada berani beraksi lain daripada lain ya bukan lain karena ia ingin membawa sensasi kenyataan di lapangan dalam level yang lebih tinggi seolah ingin berucap: ini loh keseharian mereka, ini loh suka-duka mereka, ini loh apa yang mereka lakukan selama kita tidur terlelap di atas kasur empuk, dan ini loh profesi yang sering kita beri komplain. Bagi saya, film ini sangat mentransformasikan visi si strada. Itu jelas sekali, salut! [B+] 16/12/12

Resensi Film: Brave (2012)

Biasanya film-film keluaran Disney-Pixar bersertifikasi jaminan mutu. Tapi dengan amat berat hati, saya kecewa dengan produk yang satu ini. Seperti halnya Microsoft punya produk “gagal” Windows Vista. Mengecewakan sekali sih tidak, tapi penikmat animasi kadung berekspektasi tinggi terhadap standar produksi Disney-Pixar.

Kembali ke tema klasik tanpa berat selisih di tema visioner memang jadi penawaran menarik dari Brave. Karakter utamanya cewek berambut merah, mengingatkan kita pada The Hunger Games, yang berjuang melawan tradisi perjodohan dalam sistem aristokrasi. Formula pemilihan pelbagai karakter yang potensial menghasilkan untung waralaba juga dilancarkan dalam produksi Brave. Jelas, karakter-karakter dalam Toy Story masih susah dipatahkan kesohorannya.

Umpanya jika kita sedang menenteng daftar centang (checklist) formula Disney-Pixar, maka Brave masih berhutang banyak elemen. Sebut saja: lagu tema, dagelan bermutu, dst. Percaya deh kalau kita bakal susah cari poster-poster Brave keluaran pabrikan klasik Gunung Kelud. [C+] 16/12/12