Selasa, 05 Maret 2013

Resensi Film: Oslo, 31. August (2011)

Film dibuka dengan montase nostalgia atas Oslo milik beberapa orang. Semua punya pengalaman dan memori masing-masing. Setelah kumpulan testimoni ini selesai, kita dihadapkan pada satu karakter pria beremosi datar beranjak dari kasurnya yang mana terbaring seorang “teman tidur” di atasnya. Ia berjalan ke luar, menyeberangi jalanan protokol, menembus hutan kota, berhenti di tepian sungai… Ia bawa sebongkah batu besar bersamanya menuju ke tengah sungai. Tahu kan apa maksud si pria ini? Ia berniat bunuh diri! Ia tenggelamkan dirinya… Perlahan gelembung-gelembung nafasnya tak muncul lagi di permukaan air sungai berwarna coklat. Tiba-tiba, ia menyeruak kembali di atas permukaan sambil setengah tersedak melancarkan pernafasan.

Drama berat sudah menjadi sinyal sejak awal film bergulir. Begitupun konstan adanya ketika memasuki adegan-adegan berikutnya. Kisahnya singkat. Film tentang 1 hari bersama pecandu NAPZA yang lagi bersih dan sedang cuti dari panti rehabilitasi. Ia berkunjung ke kota. Menapaki Oslo tanpa arah meski ada wawancara kerja yang masuk dalam agendanya. Sambil lalu, kita diajak menyulam masa lalunya. Bagaimana latar belakang hidupnya dan apa yang membuat ia bisa seperti sekarang. Sebuah pilihan skrip dan sinematografi deskriptif yang cerdas.

Di sini kita melihat lebih dekat seorang pecandu yang kemana-mana susah mencari tempat yang pas. Ia cari-cari simpati, sembari cari-cari alasan tuk bertahan hidup. It was beautifully depicted. Sebenarnya saya susah untuk berempati kepada si pria ini, tapi Oslo membuat saya bisa begitu. [B+] 05/03/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar