Minggu, 18 Agustus 2013

Goresan: Meniti Impian

Apa itu impian? Sesuatu yang awalnya bisa tampak mustahil. Sesuatu yang muluk-muluk. Atau bisa jadi sesuatu yang sengaja dibuat-buat untuk menjadi bahan tetawaan. Saya punya satu impian besar. Pergi ke Eropa! Apa alasannya? Entahlah, hingga saat ini saya sendiri bingung menjelaskannya. Mungkin salah satunya karena seperti apa yang sudah saya tuliskan di atas. Tampak mustahil. Terlahir dari kalangan keluarga sederhana dengan orang tua yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah menengah atas. Alangkah indah nian jikalau saya sebagai putera mereka bisa melangkahkan kaki ke tempat-tempat yang belum pernah mereka tapaki selama ini. Betapa bangganya mereka jikalau saya bisa mewujudkannya. Itu kata batin saya…

Sepintas saya merasa apa yang terjadi pada diri saya saat ini merupakan sebuah keajaiban. Sebuah sensasi yang bakal takkan pernah terlupa dan menggetarkan. Saat ini, saat mengetik tulisan kecil ini, saya sedang berada di Leiden, Belanda. Saya di Eropa! Alhamdulillah… Terima kasih, ya Allah. Beberapa rintangan dan kerikil yang sempat ditemui di awal proses menjadi berasa butiran debu saja yang telah secara otomatis terbayarkan kala ini. Terima kasih saya untuk semua yang telah memberi doa, semangat, dukungan, dan hadiah. Bagi siapapun yang saya maksud/tuju, Kalian akan sangat bisa merasa jika membaca tulisan ini… Doa dari saya menyertai Kalian. [18/08/13]  


Selasa, 13 Agustus 2013

Resensi Film: 5 cm. (2012)

Jangan berpikiran mesum ketika membaca judul film ini! Hahahaha… Diangkat dari sebuah buku (seingat saya malah komik, karena saya sempat membuka-buka bukunya yang mana di dalamnya penuh dengan gambar dengan panel-panel khas komik), film ini berujar diinspirasi dari kejadian nyata. Oke, satu nilai jual sudah dikantongi.

Berujarkan tentang perkawinan antara tema persahabatan dan nasionalisme membuat 5cm. cukup kerepotan dan kebingungan. Jangan salah kira dulu. Pada dasarnya, saya sangat bisa menikmati film santai ini. Namun, penjejalan pesan yang tak mulus menjadi iritasi tersendiri saat menontonnya. Grup sentral dalam film ini berjumlah lima kepala. Mereka sahabatan. Sampai-sampai saking intensnya persahabatan mereka, masing-masing tak punya ruang lagi untuk menjalin interaksi sosial dengan lingkup di luar geng lima sekawan binaan mereka. Salah satu anggotanya tiba-tiba mencetuskan ide untuk putus kontak ekstrem antarsesama selama beberapa saat untuk kemudian bereuni kembali di suatu momen.

Itu plot awal pembangun film. Dan, seperti yang bisa kita simak melalui sampul film, momen reuni mereka dirayakan lewat acara pendakian Gunung “mahameru Jawa” Semeru. Khusus tentang pendakian ini banyak yang komplain, khususnya datang dari pihak para pecinta alam dkk. Film ini kurang mewakili realitas pendakian itu sendiri, intinya. Yang lebih saya soroti di film ini adalah cara si strada, Rizal Mantovani, mengemas dan memoles konsep film. Dengan dipilihnya band Nidji sebagai pengisi soundtrack film ini saja saya sudah menangkap mau dibawa ke mana arah 5cm. di tangannya.

Secara keseluruhan, saya merasa film ini masih kelewat merah jambu… Kurang eksplorasi dan sangat-ngat bermain aman-man bin nyaman-man. Sorot-sorot pemandangan di dalam film tercuri secara indahnya. Saya mulai suka ketika melihat kepekaan sinematografer memotret keindahan demi keindahan tropis persawahan sewaktu grup lima sekawan sedang menuju Malang via sepur. Belum lagi nanti ditambah eksotisme titik-titik utama di jalur pendakian, terutama di Ranu Kumbolo (seharusnya ditulis: Ranu Kumbala).

Tak lama setelah menonton film ini, saya dengarkan lagu Dewa 19 berjudul Mahameru. Sambil membayang-bayangkan, bagaimana jadinya bila film ini ditangani strada lain dan memakai lagu ini sebagai soundtrack-nya dan membiarkan Andra Ramadhan mengambil status komposernya. [B] 10/08/13

Sabtu, 03 Agustus 2013

Resensi Album Musik: Mahadewa 19 - Past to Present (2013)

Sudah dirilis! Satu album baru formasi terkini Dewa 19. Di bawah nama Mahadewa 19, grup gres ini mempunyai Judika sebagai corong pelantun liriknya. Dari judul albumnya sudah ketahuan mau dibawa kemana album perdana mereka? Band legendaris besutan Ahmad Dhani ini sudah punya single melimpah. Beberapa di antaranya kita ketahui telah dan akan selalu melegenda. Bukan suatu kejutan bila suatu saat di masa depan nanti Ahmad Dhani akan diganjar penghargaan seumur hidup atas prestasi berkeseniannya.

Saya cukup antusias memutar album perdana Mahadewa 19 ini, karena… Dewa 19, bagi saya, termasuk band yang konsisten dengan karya-karya yang tak pernah mau masuk ke level di bawah rata-rata. Melihat sampul album Past, sungguh membuat hati saya tak tertarik. Sintetis sekali, dengan pilihan jenis tulisan yang wagu. Mengingatkan kita pada font kaku era band rock lawas. Berpadu dengan latar (yang sepertinya, maunya) futuristik, ala galaksi tersemat satu hati bersayap mengepak, membuat saya susah pahami arti sampul. Maksudmu apa, Mas Dhani? Mohon pencerahannya.

Terjawab sudah sejak lagu anyar pertama di album ini, Cinta itu Buta. Sudah bisa diduga! Kalau Anda mengikuti acara kompetisi adu bakat "X Factor Indonesia" yang mana Mas Dhani menjadi salah seorang juri mentor di dalamnya, maka selalu bisa kita dengarkan aliran musik dan aransemen apa yang sedang Mas Dhani gandrungi. Dan itu ia bawa di album “pertaruhan dan perkenalan” ini. Saya hanya harap-harap cemas saja jika Dewa 19 segera punah. Sebagaimana kita ketahui proyek sambilan Mas Dhani dengan jumlah yang banyak tapi tak satupun yang menunjukkan tanda-tandanya untuk berpotensi langgeng. Semoga dengan keluarnya album ini, saya harap Mahadewa 19 tak melakukan blunder. Itu saja harapan saya pada album ini.

Lagu pertama belum tentu mencerminkan keseluruhan, bela saya. Ternyata lagu demi lagu saya dengar dan seluruh album ini seirama dengan lagu pertama. Rock elektronik (konotasi positifnya, progresif). Itu kata kuncinya, sedang isinya berupa akrobat dan eksploitasi musik elektronik yang walau masih sangat bersahabat di telinga tapi terlampau distortif untuk ukuran keindahan versi orisinilnya. Oh ya, maaf kelupaan. Sebagai informasi, lagu-lagu dalam album ini mayoritas lagu lawas Dewa 19 yang di-cover. Pertanyaan berikutnya, Mas Dhani mengapa akhir-akhir ini panjenengan suka sekali berjalan di atas tempat dengan meng-cover karya-karya lamamu?

Performa mendayu-dayu rock Melayu khas Judika di album ini tenggelam oleh gegap-gempita dan hingar-bingar aransemen elektronis musik album Past. Kalau dikalimat pedaskan: “tak perlu cari kualitas vokal Judika untuk menyanyi di lagu-lagu aransemen seperti di album ini”. Toh, mubazir. Menurut saya, kalau aransemen Mas Dhani bakal seperti ini terus, mendingan contoh David Guetta yang menggandeng banyak vokalis untuk menyanyi-nyayi di atas olahan atraktif. Lebih menjual. Kasihan Judika, ia tak dibiarkan “pamer” teriakan mengiba curcol khasnya.

Kalaupun ada, semoga album Mahadewa 19 berikutnya insyaf. Tak menyanyikan ulang lagu-lagu lama dan lebih memuliakan bakat masing-masing lini. Bukankah semangat Dewa 19 merupakan semangat menyuarakan hati lewat lantunan lirik berjiwa muda (meskipun kadang sadur sana sadur sini) dan bukan semangat euforia aransemen musik canggih semata?

Lewat album ini, saya himbau Baladewa bermunajat untuk Mas Dhani. Semoga ia menyadari bahwa di luar sana ada orang-orang yang masih menanti karya Dewa 19 dengan ruh Dewa 19. Bukan Dewa 19 yang menjadi Linkin Park tanpa rap. Kalau Mas Dhani tetap berkeras, bukankah sebaiknya ia mengganti nama band-nya saja? [C] 03/08/13