Sabtu, 21 Januari 2012

Resensi Film: Ponyo (2009)

Hayao Miyazaki memang keren! Saya berani bilang karena untuk kedua kalinya saya sukses ditohok, dibuat gigit bibir, dan terbelai. Strada animasi Jepang satu ini selalu mengedepankan kepekaan moral yang menyatu dengan alam lewat daya imajinasi sensasional. Sebuah bakat langka dari kolaborator unsur sinematik dan filosofis. Memang, mungkin saja karyanya akan terasa berat dan alot bagi para penikmat-film nanggung alias emoh terlalu santai tapi juga emoh terlalu serius. Ponyo sekali lagi masih setia menyajikan formula khas Miyazaki. Tak usah berharap banyak ia mau kompromi dengan “sponsor”.

Alkisah ada seekor ikan emas betina dari samudera nan luas yang ingin jadi manusia seutuhnya. Ia melarikan diri dari kehidupan bangunan orang tua campurannya. Sang ayah dulu manusia, sedang sang ibu merupakan ratu jagad samudera. Mereka tinggal di kedalaman laut membangun dunia sendiri. Pada suatu saat, puteri mereka berhasil menyambangi dunia daratan yang diidam-idamkan. Ia secara tak sengaja ditemukan seorang bocah (manusia) bernama Sosuke. Olehnya, ia diberi nama Ponyo. Mereka berdua cocok satu sama lain. Begitulah awal petualangan Ponyo, bakalan tak seru tatkala saya bercerita lebih jauh dan mendetail. Yang jelas, selanjutnya kita akan singkat bertanya akankah Ponyo betah di daratan?

Beberapa hal langsung mencuat dalam pikiran saya, yakni pentingnya pendidikan orang tua, transisi/lompatan hidup (metafora dari adegan menembus terowongan), dan keluhuran diri. Ketiganya menjadi penentu insan bakalan jadi siapa. Minimal itu yang saya tangkap dari visi Miyazaki. Lagi-lagi saya merasakan sebegitu pedulinya Miyazaki atas penyimpangan fitrah manusia. Ia hampir selalu soroti kenapa lingkungan sekarang berubah dan mengapa manusia mulai melupakan diri siapa dia sebenarnya. Jangankan transendental, yang horizontal saja sudah sering abai.

Hebat bukan jika sebuah karya mampu memantik pemikiran seperti yang saya alami di atas? Jangan harap Anda bisa menikmati karya Miyazaki jika terlalu logis. Nikmati saja warna-warna dan keanehan gambar karakter semunya seperti kita menikmati cerita bergambar saat masih kanak-kanak. Lupakah kita akan sensasi riangnya kala itu? Kalau iya, nah itulah jebakan reflektif yang dipasang Miyazaki pula. Secara tak sadar, kita berkaca makin ke sini makin membosankan, pengeluh, dan lupa diri padahal dulu kita tak seperti itu. Mmm, menonton Ponyo hingga lagu penutupnya rampung menjadi paket komplit serupa menyimak dongengan yang dibaca Ibu tersayang. [B+] 20/01/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar