Senin, 02 Januari 2012

Resensi Film: 50/50 (2011)

Ingatkah Anda kapan terakhir kali melihat film berceritakan bagaimana orang terpapar sakit kronis bertahan hidup? Yang saya ingat a.l. The Bucket List juga Sea Inside. Paling tidak, dua judul tersebut yang belum lama sekali saya tonton. Mungkin apabila Anda mengikuti Surat Kecil untuk Tuhan mungkin itu menjadi rilisan terbaru. Sayang sekali saya belum menontonnya. Film-film tipikal ini hampir selalu menggugah dan menginspirasi kalau tidak malah jadi menjemukan laiknya The Bucket List.

Katakanlah terdapat beberapa formula: (1) vonis dari dokter; (2) kisah cinta romantis; (3) kebersamaan keluarga yang kian erat; (4) sahabat setia menemani. Nah, 50/50 pun menyuguhkan semua formula itu. Lalu, adakah keistimewaan di dalamnya? Aha! Daftar pemerannya? Bukan. Ya, kewajaran penggambaranlah yang menjadi kelebihan 50/50. Dibintangi oleh pemeran cowok dalam (500) Days of Summer membuat saya langsung mengendus aroma serupa dengan karakter agak cupu, lempeng, serta tak lihai dalam urusan cinta.

Bersama karibnya ia bekerja sebagai kontributor di sebuah radio. Ia tak punya SIM, jadi tak punya kendaraan pribadi, serta punya pacar tinggal serumah yang tak disukai karibnya. Pada suatu saat terasa sakit di punggungnya dan setelah didiagnosis dokter ternyata ia mengidap kanker langka dan persentase kesempatannya bertahan 50%. Dan itulah mengapa judul film ini 50/50. Bukan suatu jenis bantuan dalam kuis waralaba internasional.

50/50, film menyenangkan. Saya kangen mendapat sensasi penuh kebersamaan seperti dalam film ini. No political feeling, pure humanic arouse. [B] 02/01/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar