Selasa, 10 Januari 2012

Resensi Film: The Full Monty (1997)

Apa yang hampir selalu saya dapatkan dari film-film UK yakni potret sosial dari suatu kelas sosial (seringnya yang termarjinalkan, sebagai “tandingan” hegemoni monarki). Dengan sapuan poles komedi sarkas dan kolokial, film-film UK terlihat mentah tapi menyehatkan layaknya makanan sushi Jepang. Menonton Monty sepintas mengingatkan saya kepada Billy Elliot yang lahir belakangan. Mereka mirip-mirip modelnya.

Drama yang tak terlalu dibuat menye-menye dibantu komedi hitam selengekan menjadi formula utama Monty. Bayangkan enam pria pengangguran di sebuah kota industri, Sheffield, mengadu peruntungan sebagai strippers atas nama aktualisasi diri. Mereka malu menganggur dianggap tak berguna bahkan penggembira dalam masyarakat yang selalu standby di klub pencari kerja. Suatu kondisi yang bertolak belakang dengan mentalitas di negeri kita. It’s all about being exist. Mereka 6 pax (berbodi aduhai) enggak semua, ganteng enggak, muda sudah enggak. Apalah yang bisa mereka jual ketika menjadi strippers. Lalu, kenapa mereka pilih sebagai strippers? Yah, karena lahan inilah yang kelihatan laris-manis namun masih sepi digarap. Bahkan ada salah seorang isteri di antara mereka pun yang doyan hadir.

Awal-awal film terpikir saya hentikan niat menontonnya, lantaran kisah yang tak jelas juntrungannya juga bahasa Inggris beraksen “eksotis” kian menambah kebingungan saya memahami jalan cerita. Namun setelah ditemukan dengan persoalan menyinggung hak asuh anak, barulah Monty memikat minat saya. Menyeruput the hijau hangat di depan TV sambil duduk di santai di atas sofa atau kasur mengikuti alur film ini bisa jadi salah satu cara pas menikmati Monty. Tak perlu ke bioskoplah… And so, off your lingerie, Lads! [B] 10/01/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar