Senin, 14 Februari 2011

Resensi: V for Vendetta (2006)


Diangkat dari novel grafis karya David Lloyd terbitan Vertigo/DC Comics tak membuat V for Vendetta kehilangan ruh gema sadar bertindak. Tak ada takut bereaksi terhadap sistem yang salah. Karakter ini diwakili oleh Evey Hammond (Natalie Portman) yang mengalami fase perubahan diri. Berlatar belakang mempunyai orang tua pasangan aktivis politik penentang perang dan reklamasi dengan akhir hidup tragis menjadikan Evey seorang yatim-piatu yang mulanya takut dan coba berdamai dengan lingkungannya.

London era abad XXI tempat dimana Evey tinggal digambarkan sebagai kota aman, tenteram, dan mapan dalam konteks represif dan serba sensor. Terdapat regulasi jam malam demi keselamatan bersama. Siapapun keluar rumah tanpa izin di atas jam yang ditentukan maka bisa ditahan. Oleh kanselor agungnya, rakyat Inggris dicekoki pelbagai isu-isu negatif atas kaum marjinal—dalam hal ini ekstremis keagamaan, homoseks, dsb. Merekalah yang menjadi kambing hitam atas segala masalah kehidupan bernegara.

Lalu muncullah karakter dengan topeng ala Joker menempel di wajah bernama V yang selanjutnya menyulut kobar api dendam terhadap penegak negara demi nilai-nilai dan kejujuran. Pertemuannya dengan Evey terjadi ketika Evey melanggar regulasi jam malam. Sejak malam itu, mereka saling mengenal satu sama lain. Aksi pertama V ditandai dengan pengeboman Gedung Old Bailey—sebagai simbol hancurnya keadilan semu—pada 5 November. Tanggal ini menjadi tonggak bersejarah yang dipilih V berdasar dari ceritera upaya pengeboman gedung parlemen oleh tokoh bernama Guy Fawkes pada tahun 1605. Di sini V for Vendetta berucap bahwa bolehlah tubuh seseorang binasa, namun tidak demikian yang terjadi dengan pemikiran besarnya.

Sutradara James McTeigue mengeksekusi skenario tulisan Wachowski bersaudara secara cermat. Berhati-hati guna menghindari kesan menggurui penonton. Pemilihan lagu serta pengaturan musik latar yang fleksibel namun rapi membangun V for Vendetta sebagai karya kreatif berjiwa reaktif. Sangat klop sebagai suguhan paket revolusi.

“Artists used lies to tell the truth while politicians used them to cover the truth up.” [B]

1 komentar:

  1. setelah 6 tahun dirilis, film ini masih tetap mampu membuat saya tertarik untuk terus memutar film ini berulang ulang xD :D
    One of The BEST movie ever! :D
    mampir juga di http://simonchild23.blogspot.com/

    BalasHapus