Jumat, 04 Februari 2011

Resensi: Eat Pray Love (2010)


Satu kata untuk film ini. Panjaaaaaaaaaang. Risikonya, bosan! Hanya ada beberapa momen yang layak disimak. Roma, India, dan Bali jadi saksi cewek New York frustrasi bernama Liz.

Julia Roberts yang sudah cukup lama tak tampil, sepertinya tak bakal mampu obati rindu dan membangkitkan nostalgia penggemarnya. Tak lain karena durasi drama yang terlalu panjang dan melelahkan bak putaran lotere yang rutin ditarik berkali-kali karena tak pernah kena target utama. Duka, ria, sendu, renung, dan diam silih berganti ditampilkan dengan kekuatan yang datar.

Kisahnya bermula dari Elizabeth Gilbert yang tahu-tahu merasa ada yang tak seimbang dalam hidupnya. Dimulailah pencarian keseimbangan dan pencerahan itu walau dengan mengorbankan kehidupan rumah tangga. Bercerai, kemudian tinggal serumah dengan aktor amatir Broadway yang dikasihinya. Alih-alih peroleh bahagia, ternyata hubungan ini pun kandas begitu cepatnya. Lantas Liz susunlah plesiran impulsif ke Roma (Eat), India (Pray), dan Bali (Love). Ia hendak membangkitkan rasa laparnya yang telah lama hilang di Roma. Bermeditasi ria untuk belajar memaafkan diri di India. Membuka hatinya lagi di Bali.

Adaptasi buku laris ini tak sepenuhnya berantakan, bahkan cukup lembut di awal dan menyengat di beberapa adegan – seperti ketika Stephen si anggota meditasi curhat kepada Liz tentang kesalahannya. Emosi yang berulang dan efektivitas penceritaan menjadi titik lemah dari film depresi dengan set lintas benua ini. Pastikan Anda membawa bantal, guling, selimut, dan obat nyamuk kala menontonnya. [C]

1 komentar: