Senin, 14 Februari 2011

Resensi: Bodyguards and Assassins (2009)


Membicarakan sejarah sebuah bangsa tak pernah luput dari proses gejolak di dalamnya. Tatkala kita bercengkrama ihwal Cina—negeri berpopulasi terbesar di dunia, tersimpanlah satu kisah nasionalisme demokrasi sebagai salah satu mutiara sinologi. Apa dan siapa lagi kalau bukan merujuk pada upaya demokratisasi dan sosok Sun Yat Sen.

Film Bodyguards and Assassins merekonstruksi sejarah secara melodramatik lewat perspektif para pelindung kehadiran Sun Yat Sen di Hong Kong—pada masa di bawah kekuasaan pemerintah imperialis Inggris. Dalam kurun waktu yang sangat terbatas Sun Yat Sen berbagi ide mengenai revolusi, di samping konsolidasi bersama para delegasi dari 13 provinsi Cina dalam upaya pembebasan Cina dari kekuasaan Manchu yang feodalistik.

Dua kepentingan masing-masing sama berjuang. Bodyguards mewakili kaum pembaharu, sedang Assassins membela kaum konservatif. Walau sebangsa setanah air apabila tak ada ruang berdialog satu sama lain maka yang ada hanyalah pertentangan tiada akhir. Inilah yang juga ingin disampaikan dari film laga bertabur aktor gaek Mandarin ini.

Tak butuh membaca ulang buku sejarah jika ingin menikmati film ini sebagaimana kita menghafal lirik lagu sebelum menonton konser band musik. Bodyguards and Assassins bukanlah film sejarah otentik. Ia diorama afektif dalam sebuah musium mewah.

Dalam satu adegan, Sun Yat Sen menjabarkan alasan mengapa ia beralih dari memelajari ilmu kedokteran ke ilmu politik. Dengan menjadi dokter ia hanya mampu mengobati sebagian masyarakat Cina, namun dengan menjadi seorang revolusioner maka masa depan seluruh bangsa Cina dari peradaban zalim menuju perdaban yang lebih baik bisa diperjuangkan. [C+]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar