Senin, 14 Februari 2011

Resensi: The Shawshank Redemption (1994)


Bukan lantaran karena pernah dinobatkan sebagai nomine film terbaik Oscar lantas The Shawshank Redemption layak mendapat perhatian. Hingga pada saat kita membuktikannya sendirilah baru bisa disadari betapa dahsyat karya Frank Darabont (The Green Mile, The Mist) atas adaptasi tulisan master horor Stephen King ini. Sebuah film tentang semangat manusia di tengah jebakan teori terinstitusionalkan.

Andy Dufresne (Tim Robbins), seorang bankir pendiam nan misterius dijebloskan ke dalam hotel prodeo atas dakwaan pembunuhan keji terhadap isteri dan selingkuhan isterinya. Kehidupan sel mempertemukannya dengan “Red” Redding (Morgan Freeman), seorang tahanan dengan predikat penyelundup kelas kakap barang-barang pesanan tahanan. Dari perkenalan awal yang kaku hingga terwujudnya transaksi selundupan pertama barang permintaan Andy, hubungan antara Andy dan “Red” kian membentuk jalinan persahabatan yang tak terkira ujungnya.

Lewat penggambaran sudut-sudut kehidupan sel yang kaya dan dramatis, The Shawshank Redemption menangkap ruh masyarakat terinstitusionalkan secara apik dalam tataran filosofis. Bagi yang dipenjara, seolah-olah hidup mereka telah sengaja direnggut dan harapan adalah impian terlarang nan berbahaya yang bisa membuat edan. Di tengah-tengah pandangan yang demikian, Andy muncul sebagai tahanan yang teguh memutarbalikkan stigma tersebut. Lewat salah satu adegan heroik, Andy mengibaratkan musik sebagai ekspresi merdeka. Tak satupun orang yang mampu menghadang kita saat menyelami musik, sekalipun musik tersebut hanya kita putar sendiri dalam angan.

Penjara bukanlah benteng tak bergeming, masyarakat di dalamnya pun bukannya pasir basah yang tak dapat terbang oleh angin. [A]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar