Selasa, 30 April 2013

Resensi Film: Promised Land (2012)

Daya pikat film ini terletak pada stradanya, Gus Van Sant, yang telah kita kenal sebagai salah satu strada “nyeni” tapi tak nyentrik. Karya kreasinya macam Good Will Hunting dan Elephant menjadi beberapa yang bersinar. Terlebih untuk yang disebut terakhir, yang berpredikat sebagai film Palem Emas. Apa proyek Gus Van Sant di Promised Land?

Sudah berwujud firasat dalam diri saya sejak durasi awal menonton bahwa Promised bakal hambar. Tak bisa saya jelaskan secara rinci mengapanya. Firasat saja. Titik. Gambar-gambarnya aduhai, olah warna-warna lembut mendominasi bingkai demi bingkai gambar. Pengoperasian kameranya sabar, rapi, dan presisi. Musik pengiringnya pun manis. Tapi sesuatu di dalamnya seperti ada yang tak sinkron. Film ini berasa kurang punya ruh.

Ceritanya tentang konspirasi dari korporasi eksploitir sumber daya alam. Suatu perusahaan gas sedang merayu warga pertanian di wilayah terpencil yang taraf hidupnya tak bisa dibanggakan secara finansial. Perusahaan itu mengirim dua utusan “perayu”-nya ke tengah warga, membujuk mereka supaya mau sewakan lahan. Meski saya stop di sini sinopsisnya, pasti sudah ketebak bakal kemana alur cerita menggelinding.

Sejak cukup dini film ini cacat kejutan karena saking umumnya logika plot. Jadi PR-nya harus punya penawaran ekstra. Secara teknis, sebenarnya bisa sedikit penuhi dahaga tuntutan keekstranan itu. Namun… ternyata guna membangun film ini kebutuhannya lebih dari sekadar faktor teknis ala pendekar. Untuk ukuran Gus Van Sant, film ini kebablasan biasa. Serba nanggung. Ada satu adegan di dalamnya yang sangat menghibur saya secara emosional. Yakni, tatkala seorang bocah penjual limun tak mau terima sisa kembalian meski dipersilakan oleh si pembeli, ia hanya mau terima sesuai harga yang telah tertulis. Duh, ni adegan sederhana banget tapi nampar. Di atas semua itu, bagusnya, film ini tanpa adegan seks. [C+] 29/04/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar