Jumat, 05 April 2013

Resensi Film: Loong Boonmee Raleuk Chat/Uncle Boonmee who Can Recall his Past Lives (2010)

Prestasi film ini luar biasa! Mengapa demikian? Untuk pertama kalinya film dari negara di kawasan Asia Tenggara berhasil menyandang predikat Palem Emas dalam perhelatan Festival Film Cannes. Perlu diketahui, film ini dari negeri-gajah-putih Thailand. Bukan dari negeri-kolam-susu Indonesia. Kapan karya anak bangsa Indonesia bisa menyusul ya? Semoga… Amin.

Saya cukup antusias mencari kopi dan menonton film ini. Judulnya sudah kentara. Lalu, apa gerangan kehidupan masa lalu yang dimaksud? Paman Boonmee ini ternyata seorang pria paro baya yang mengidap sakit ginjal akut. Isterinya telah lama mendahului, sedangkan puteranya lama hilang tanpa jejak. Sambil menghadapi sakit beratnya, Boonmee melalui hidup ditemani beberapa orang sekitar yang sayang, mulai dari ipar sampai pegawainya.

Nuansa kehidupan desa sangat kental di film ini. Paman Boonmee memiliki kebun asam yang luas. Pegawainya banyak berasal dari kalangan imigran negara tetangga. Dalam salah satu adegan yang saya sukai di film ini, ada dialog antara ipar Paman Boonmee dan salah satu pegawai imigran. Sambil berjalan santai menyusuri kebun, si ipar berujar (lebih-kurang): “kamu tak perlu sopan-sopan pada saya”. Memang, ini dialog sangat biasa dan cenderung terabaikan. Tapi, kalau kita tangkap, ada pernyataan sikap sosial di sana. Ketika adakalanya kalangan bos tak perlu selalu diartikan sebagai superioritas. 

Kembali lagi ke pertanyaan di awal tadi, apa masa lalu yang dimaksud? Ini mulai masuk dalam tataran interpretasi. Dalam Uncle ada diskusi tentang karma, reinkarnasi, dan hal-hal terkait lainnya. Dan yang lebih menarik lagi, ketika kita memahami konteks negara gajah putih dengan penduduk mayoritas beragama Buddha dan beraja maka segala diskusi itu terasa berjalan lebih berwarna ketimbang (mungkin saja, katakanlah) membicarakannya dalam konteks masyarakat sekuler.

Secara sinematik, film ini memang sejak awal terkesan festival banget. Miskin musik latar, lebih realis meski mengandung unsur supernatural, ritme plot mengalir lamban, dsb. Saya suka sekali dengan dialog-dialog kesehariaanya di bagian awal film. Namun ketika menginjak pertengahan dan akhir film, yang terjadi adalah perbincangan falsafah (di titik ini ketertarikan saya mulai menurun).

Diangkat dari sebuah buku, membuat saya kepikiran bagaimana dialektisnya si versi baca. Tak ada nama Paman Boonmee di judul bukunya (#penasaran). Bagi saya, film ini punya pengantar pesan yang kurang sinambung. Ada dua ungkapan besar di dalamnya yang termaktub dalam dua bagian. Yang pertama disampaikan dalam durasi panjang, sedangkan yang kedua ada dalam plot kecil di babak akhir film. Entah, maksud sebenarnya si strada apa. Namun bagi saya, kedua hal ini kurang terjembatani secara mulus dan apik. Saya merasa kedua isu yang menyentil itu sama-sama kuat berdiri sendiri. Kalau nantinya menonton film ini, saya berharap Anda akan punya kesan yang berbeda. [B] 05/04/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar