Diadaptasi
dari buku otobiografi B.J. Habibie, seorang bapak
idola dari
banyak anak
Indonesia. Kepintarannya sangat teruji, meski sangat disayangkan
karena telah cukup
dimubazirkan oleh negeri sendiri. Di poin ini, saya sebagai warga
negara Indonesia benar-benar merasa prihatin. Mengapa ketika bangsa
ini punya aset “satu dalam sejuta” cenderung selalu terabai?
Kembali
ke film, pada dasarnya saya kurang setuju dengan judul film. Saya
pikir bakalan dipertontonkan keintiman mendalam hubungan antara
Habibie dan (almh.) sang isteri tercinta. Ternyata banyak subplot
yang ditawarkan di dalamnya. Mulai dari dipilihnya Habibie menjadi
seorang menteri sampai dengan posisinya sebagai presiden. Tak ubahnya
sajian semacam ini sejak awal sudah mudah ditebak akan seperti apa
bakalan nanti olah pengadegannya. Adegan-adegan awal tak cukup
meyakinkan saya atas hubungan batin kuat antara Habibie dan Ainun.
Meski
syuting untuk beberapa
adegan dilakukan secara
langsung di Jerman sekalipun, rasa-rasa keuntungan itu tak
dimanfaatkan secara maksimal. Bisa jadi karena faktor desain produksi
yang menuntut kesesuaian dengan set era yang sedang dibahas (tahun
60-an). Mentok-mentoknya menyalahkan faktor anggaran yang telah
membuat tim produksi kurang leluasa dan terbatasi. Tapi, entah kenapa
saya berpikiran: “enggaklah, pasti bisa lebih baik karena toh sudah
bisa syuting di Jerman secara
langsung pula”.
Setelah
tak tersapa hangat oleh
chemistry
antara Habibie dan Ainun dalam film ini, lantas saya cari-cari alasan
lain yang membuat saya bertahan
menonton film ini.
Sayang sekali, sampai layar film bergambar Habibie sedang nyekar
membeku
saya tak kunjung temukan hal menarik. Satu-satunya, kalaupun ada, itu
adalah permainan akting dari Reza Rahardian yang coba mendefinisikan
ulang gestur Habibie. Membayangkan bagaimana dulu sewaktu mudanya
dengan melihat masa kini. Akting lawan mainnya, BCL, tetap saja
berpijak pada level aman.
Proyek
film ini memang tak mudah, saya pikir,
karena
hampir-hampir
seperti film kolosal. Rentang peristiwa yang diceritakan panjang.
Lintas 3 orde: Lama, Baru, dan Reformasi. Yang membuat saya
menyayangkannya adalah mengapa tidak dicari dulu konsep utuh yang
lebih sederhana tapi mengena. Kisah percintaan Habibie-Ainun
sebenarnya potensial, yang lewat film ini kurang tergali dan tergarap
secara mendalam. Melalui film ini, saya hanya sekadar tahu saja: “oh…
ternyata perjalanan beliau begini toh”. Tak sampai menggerakkan.
Rasa-rasanya (lagi) saya BELUM “insyaf tak melulu nonton produk
mancanegara”.
[C+] 14/04/13
Satu bagian di film ini yg amat sangat menggangu adalah kehadiran iklan "chocolatos"...salah satu snacknya keluarga habibie...aku juga punya pikiran yang sama dgn kamu gus...kasian ya Habibie...tp sekaligus salut dengan idealisme dy untuk berbakti pada negeri...sekali lagi dalam film ini sy bisa bilang reza rahardian itu berbakat dan tampaaannnn!!!hahahahaha
BalasHapus