Minggu, 14 April 2013

Resensi Film: Habibie & Ainun (2012)

Ditonton lebih dari 2 juta pemirsa di Indonesia! Saya belum melakukan riset kecil untuk mengetahui keabsahan berita ini. Tapi, info inilah yang saya dapat dari pesan singkat kiriman seorang teman. Selalu kurang greget kalau kita tak membincangkan kehebohan di setiap komoditas produksi dalam negeri. Sudah cukup lama saya tak mengapresiasi film produk dalam negeri. Semoga saja, dengan menonton Habibie & Ainun mulai tumbuh benih-benih “insyaf tak melulu nonton produk mancanegara”.

Diadaptasi dari buku otobiografi B.J. Habibie, seorang bapak idola dari banyak anak Indonesia. Kepintarannya sangat teruji, meski sangat disayangkan karena telah cukup dimubazirkan oleh negeri sendiri. Di poin ini, saya sebagai warga negara Indonesia benar-benar merasa prihatin. Mengapa ketika bangsa ini punya aset “satu dalam sejuta” cenderung selalu terabai?

Kembali ke film, pada dasarnya saya kurang setuju dengan judul film. Saya pikir bakalan dipertontonkan keintiman mendalam hubungan antara Habibie dan (almh.) sang isteri tercinta. Ternyata banyak subplot yang ditawarkan di dalamnya. Mulai dari dipilihnya Habibie menjadi seorang menteri sampai dengan posisinya sebagai presiden. Tak ubahnya sajian semacam ini sejak awal sudah mudah ditebak akan seperti apa bakalan nanti olah pengadegannya. Adegan-adegan awal tak cukup meyakinkan saya atas hubungan batin kuat antara Habibie dan Ainun.

Meski syuting untuk beberapa adegan dilakukan secara langsung di Jerman sekalipun, rasa-rasa keuntungan itu tak dimanfaatkan secara maksimal. Bisa jadi karena faktor desain produksi yang menuntut kesesuaian dengan set era yang sedang dibahas (tahun 60-an). Mentok-mentoknya menyalahkan faktor anggaran yang telah membuat tim produksi kurang leluasa dan terbatasi. Tapi, entah kenapa saya berpikiran: “enggaklah, pasti bisa lebih baik karena toh sudah bisa syuting di Jerman secara langsung pula”.

Setelah tak tersapa hangat oleh chemistry antara Habibie dan Ainun dalam film ini, lantas saya cari-cari alasan lain yang membuat saya bertahan menonton film ini. Sayang sekali, sampai layar film bergambar Habibie sedang nyekar membeku saya tak kunjung temukan hal menarik. Satu-satunya, kalaupun ada, itu adalah permainan akting dari Reza Rahardian yang coba mendefinisikan ulang gestur Habibie. Membayangkan bagaimana dulu sewaktu mudanya dengan melihat masa kini. Akting lawan mainnya, BCL, tetap saja berpijak pada level aman.

Proyek film ini memang tak mudah, saya pikir, karena hampir-hampir seperti film kolosal. Rentang peristiwa yang diceritakan panjang. Lintas 3 orde: Lama, Baru, dan Reformasi. Yang membuat saya menyayangkannya adalah mengapa tidak dicari dulu konsep utuh yang lebih sederhana tapi mengena. Kisah percintaan Habibie-Ainun sebenarnya potensial, yang lewat film ini kurang tergali dan tergarap secara mendalam. Melalui film ini, saya hanya sekadar tahu saja: “oh… ternyata perjalanan beliau begini toh”. Tak sampai menggerakkan. Rasa-rasanya (lagi) saya BELUM “insyaf tak melulu nonton produk mancanegara”. [C+] 14/04/13

1 komentar:

  1. Satu bagian di film ini yg amat sangat menggangu adalah kehadiran iklan "chocolatos"...salah satu snacknya keluarga habibie...aku juga punya pikiran yang sama dgn kamu gus...kasian ya Habibie...tp sekaligus salut dengan idealisme dy untuk berbakti pada negeri...sekali lagi dalam film ini sy bisa bilang reza rahardian itu berbakat dan tampaaannnn!!!hahahahaha

    BalasHapus