Saya menonton satu lagi film
hitam-putih. Lama-lama saya tersadar bahwa efek monokrom layar film cukup
memberi kesan klasik dan emosional. Tak ada yang mencolok, yang coba mencuri
perhatian berlebihan. Semua sudut bermain aman, sama rata. Fokus pemirsa akan
lebih bisa diarahkan ke karakter-karakter yang ada. Dalam The Turin Horse, saya dipaksa mengalah demi itu semua. Keseimbangan
konsentrasi saya diuji. Bagaimana bisa? Selama 2,5 jam durasi dialog film
superminim. Plot berpola siklus, berputar, bukan tipikal 3 babak.
Dikisahkan seorang ayah dan
puterinya tinggal di sebuah gubuk terpencil. Mereka punya seekor kuda. Kala itu
badai tengah menerjang tak henti-hentinya. Memaksa mereka tetap tinggal di
dalam gubuk, diperparah lagi dengan kuda mereka yang emoh disuruh menarik gerobak. Sebuah jalan buntu yang sempurna bagi
mereka dalam usaha keluar dari cengkeraman badai. Sehari berlalu, badai tetap
menerjang. Hari kedua, ketika bangun tidur pun badai masih membandel. Di
hari-hari berikutnya badai pun masih setia mencoba hidup mereka. Garis
degradasi mulai tampakkan diri.
Sejak film dimulai, ada satu
aransemen musik yang dimainkan. Dan ternyata hanya itu saja ilustrasi musik
yang ditawarkan. Dimainkan silih berganti dengan bunyi-bunyian deru angin kencang
dari badai. Musik latarnya cukup mewakili bagaimana depresinya film ini.
Menurut saya, kalau Anda sudah tak suka dengan musik tersebut maka itu sudah
menjadi pertanda kemungkinan besar bahwa Anda juga tak akan mudah cari jalan
tuk nikmati film ini.
Yang paling menarik bagi saya
dalam film ini adalah prolog dari narator yang menceritakan kisah akhir
(tragis) Friedrich Nietzche. Sejujurnya, secara nama filsuf yang satu ini
sering dengar dan lihat namun secara substansi filosofinya saya
geleng-gelengkan kepala. Keesokan hari setelah rampungkan filmnya, saya getol
melakukan kroscek narasi tersebut dengan kisah hidup Nietzsche seketemunya via googling. Sudah lama saya tidak
melakukan hal seperti riset kecil ini setelah khatam menonton filmnya.
Bagi saya, film ini coba meredefinisikan
misteri kisah akhir hayat Nietzsche, tanpa berusaha memberi jawaban. Cukup
frustrasi saya dibuatnya. Meski kurang nyaman dan tak bisa menikmati
keseluruhan film, namun batin dan benak saya terusik. Ini yang membuat saya
susah lupakan begitu saja The Turin Horse.
[A-] 01/04/13
Hahaha... sama bro... hampir frustasi juga saya nonton nya... tp Ntah kenapa... rasa penasaran saya sangat tebal utk mau tau gimana ending nya ... alhamdulillah saya khatam nonton nya tanpa harus ada jeda di antara saya n ending dr Turin Horse Movie ini... hehehe
BalasHapusHahaha... sama bro... hampir frustasi juga saya nonton nya... tp Ntah kenapa... rasa penasaran saya sangat tebal utk mau tau gimana ending nya ... alhamdulillah saya khatam nonton nya tanpa harus ada jeda di antara saya n ending dr Turin Horse Movie ini... hehehe
BalasHapus