Senin, 01 April 2013

Resensi Film: A Torinoi Io/The Turin Horse (2011)

Saya menonton satu lagi film hitam-putih. Lama-lama saya tersadar bahwa efek monokrom layar film cukup memberi kesan klasik dan emosional. Tak ada yang mencolok, yang coba mencuri perhatian berlebihan. Semua sudut bermain aman, sama rata. Fokus pemirsa akan lebih bisa diarahkan ke karakter-karakter yang ada. Dalam The Turin Horse, saya dipaksa mengalah demi itu semua. Keseimbangan konsentrasi saya diuji. Bagaimana bisa? Selama 2,5 jam durasi dialog film superminim. Plot berpola siklus, berputar, bukan tipikal 3 babak.

Dikisahkan seorang ayah dan puterinya tinggal di sebuah gubuk terpencil. Mereka punya seekor kuda. Kala itu badai tengah menerjang tak henti-hentinya. Memaksa mereka tetap tinggal di dalam gubuk, diperparah lagi dengan kuda mereka yang emoh disuruh menarik gerobak. Sebuah jalan buntu yang sempurna bagi mereka dalam usaha keluar dari cengkeraman badai. Sehari berlalu, badai tetap menerjang. Hari kedua, ketika bangun tidur pun badai masih membandel. Di hari-hari berikutnya badai pun masih setia mencoba hidup mereka. Garis degradasi mulai tampakkan diri.

Sejak film dimulai, ada satu aransemen musik yang dimainkan. Dan ternyata hanya itu saja ilustrasi musik yang ditawarkan. Dimainkan silih berganti dengan bunyi-bunyian deru angin kencang dari badai. Musik latarnya cukup mewakili bagaimana depresinya film ini. Menurut saya, kalau Anda sudah tak suka dengan musik tersebut maka itu sudah menjadi pertanda kemungkinan besar bahwa Anda juga tak akan mudah cari jalan tuk nikmati film ini.

Yang paling menarik bagi saya dalam film ini adalah prolog dari narator yang menceritakan kisah akhir (tragis) Friedrich Nietzche. Sejujurnya, secara nama filsuf yang satu ini sering dengar dan lihat namun secara substansi filosofinya saya geleng-gelengkan kepala. Keesokan hari setelah rampungkan filmnya, saya getol melakukan kroscek narasi tersebut dengan kisah hidup Nietzsche seketemunya via googling. Sudah lama saya tidak melakukan hal seperti riset kecil ini setelah khatam menonton filmnya.

Bagi saya, film ini coba meredefinisikan misteri kisah akhir hayat Nietzsche, tanpa berusaha memberi jawaban. Cukup frustrasi saya dibuatnya. Meski kurang nyaman dan tak bisa menikmati keseluruhan film, namun batin dan benak saya terusik. Ini yang membuat saya susah lupakan begitu saja The Turin Horse. [A-] 01/04/13

2 komentar:

  1. Hahaha... sama bro... hampir frustasi juga saya nonton nya... tp Ntah kenapa... rasa penasaran saya sangat tebal utk mau tau gimana ending nya ... alhamdulillah saya khatam nonton nya tanpa harus ada jeda di antara saya n ending dr Turin Horse Movie ini... hehehe

    BalasHapus
  2. Hahaha... sama bro... hampir frustasi juga saya nonton nya... tp Ntah kenapa... rasa penasaran saya sangat tebal utk mau tau gimana ending nya ... alhamdulillah saya khatam nonton nya tanpa harus ada jeda di antara saya n ending dr Turin Horse Movie ini... hehehe

    BalasHapus