Kamis, 02 Mei 2013

Resensi Film: Lat Den Ratte Komma In/Let the Right One In (2008)

Sejuta tafsiran! Itu komentar singkat saya untuk film Swedia karya adaptasi dari novel ini. Film ini sempat selama 24 jam menjadi trending topic di pesawat ponsel saya. Sekadar curcol, saya terbiasa menyebar sms berisi komentar singkat tentang film. Pesan itu benar-benar masih hangat karena dikirim beberapa saat setelah rampung menonton filmnya. Ada teman yang sampai usul, kenapa saya tak buka akun twitter saja? Saya masih malas punya akun-akun media baru. Pun kalau via sms kan bisa sekalian memaksa nomor tujuan supaya membacanya dulu, tak perlu punya followers. He3…

Film ini ternyata sudah dibuat versi Holiwut-nya bertitel Let Me In. Ini baru ketahuan setelah dua teman saya membalas sms. Mereka berdua sudah menonton yang Let Me In, tapi belum untuk yang Let the Right One In. Setelah berkorespondensi dengan keduanya, muncul satu usulan dari saya. Bagi Anda yang belum menonton keduanya, mendingan dimulai dari versi aslinya saja, yang dari Swedia. Mengapa demikian? Versi ini lebih (seperti yang saya tulis di atas) multitafsir. Meminjam ide analogi dari teman saya, ia ibarat lukisan abstrak. Siapapun bebas mengartikannya. Si pelukis demokratis, tak mengekang dan tak tawarkan satu jawaban terhebat. Bagi Anda tipikal penonton film yang konformis, saya harap jangan terlalu memaksakan kebenaran tunggal.

Di samping kekayaan interpretatif itu, Right One cerdas memanipulasi. Dijamin lebih menipu ketimbang Me In. Dalam Right One tak satupun alur berjalan kilas balik. Di dalam plot yang lambat, dialog terlontar seperlunya saja. Ia memaksa penonton berkonsentrasi pada tiap detail yang disajikan hanya sekali. Beberapa di antaranya tampak di­-“stabilo”. Bisa tujuannya untuk memberi tahu penonton, tapi bisa juga mengecoh. Hingga akhir film, banyak sekali struktur profil yang kabur buat saya. Sisakan pertanyaan demi pertanyaan seperti: siapakah orang itu? Kenapa ia bisa bersamanya? Walaupun ia dipanggil demikian, kenapa ia tak bersikap sebagaimana mestinya? Justru pelbagai tanda tanya macam ini membuat film yang pada dasarnya (bukan) horor ini menjadi benar-benar horor.

Dari sisi humanis, film ini cukup punya visi. Adegan pertama mengisahkan sisi gelap bocah beramput pirang bernama Oskar yang tertindas. Ia, sebagai korban bullying, sedang memeragakan kemarahannya terhadap teman penindas (bully) di sekolah. Meski tinggal di sebuah flat bersama sang ibunda, kita tahu bahwa Oskar kesepian. Ia juga sedang berada di persimpangan pubertas.

Nuansa tanah Skandinavia yang sedang berselimutkan salju menambah kemuraman cerita. Oskar punya kenalan baru yang menempati persis di sebelah flat-nya. Eli, namanya. Perangainya agak aneh. Misterius, tepatnya. Oskar mulai bersimpati pada Eli setelah tahu bahwa ia berhasil menyusun kubus rubik acak menjadi sewarna di tiap sisinya. “Jika aku bukan seorang cewek, apa kau akan tetap menyukaiku?” Kata Eli kepada Oskar. Kalimat ini bisa menjadi salah satu kunci utama penyibak misteri-misteri berikutnya. Apa saja? Silakan menonton sendiri.

Tiba-tiba saya teringat satu sms balasan dari teman saya yang berisikan seperti ini: “hehe twilight versi jauh lebih beradab ya”. Spontan saya tertawa dibuatnya, padahal saya sendiri belum pernah menonton satu pun seri Twilight. Jangan kira Right One merupakan tontonan berlabel drama horor biasa. Ia beda. Kalau dikatakan sebagai film drama horor, maka ia anomali KW-1. [B+] 01/05/13 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar