Sejuta tafsiran! Itu komentar singkat
saya untuk film Swedia karya adaptasi dari novel ini. Film ini sempat selama
24 jam menjadi trending topic di
pesawat ponsel saya. Sekadar curcol, saya terbiasa menyebar sms berisi komentar
singkat tentang film. Pesan itu benar-benar masih hangat karena dikirim
beberapa saat setelah rampung menonton filmnya. Ada teman yang sampai usul,
kenapa saya tak buka akun twitter saja? Saya masih malas punya akun-akun media
baru. Pun kalau via sms kan bisa sekalian memaksa nomor tujuan supaya membacanya
dulu, tak perlu punya followers. He3…
Film ini ternyata sudah dibuat
versi Holiwut-nya bertitel Let Me In.
Ini baru ketahuan setelah dua teman saya membalas sms. Mereka berdua sudah
menonton yang Let Me In, tapi belum
untuk yang Let the Right One In.
Setelah berkorespondensi dengan keduanya, muncul satu usulan dari saya. Bagi
Anda yang belum menonton keduanya, mendingan dimulai dari versi aslinya saja,
yang dari Swedia. Mengapa demikian? Versi ini lebih (seperti yang saya tulis di
atas) multitafsir. Meminjam ide analogi dari teman saya, ia ibarat lukisan
abstrak. Siapapun bebas mengartikannya. Si pelukis demokratis, tak mengekang
dan tak tawarkan satu jawaban terhebat. Bagi Anda tipikal penonton film yang
konformis, saya harap jangan terlalu memaksakan kebenaran tunggal.
Di samping kekayaan
interpretatif itu, Right One cerdas
memanipulasi. Dijamin lebih menipu ketimbang Me In. Dalam Right One
tak satupun alur berjalan kilas balik. Di dalam plot yang lambat, dialog terlontar
seperlunya saja. Ia memaksa penonton berkonsentrasi pada tiap detail yang
disajikan hanya sekali. Beberapa di antaranya tampak di-“stabilo”. Bisa
tujuannya untuk memberi tahu penonton, tapi bisa juga mengecoh. Hingga akhir
film, banyak sekali struktur profil yang kabur buat saya. Sisakan pertanyaan
demi pertanyaan seperti: siapakah orang itu? Kenapa ia bisa bersamanya? Walaupun
ia dipanggil demikian, kenapa ia tak bersikap sebagaimana mestinya? Justru
pelbagai tanda tanya macam ini membuat film yang pada dasarnya (bukan) horor
ini menjadi benar-benar horor.
Dari sisi humanis, film ini
cukup punya visi. Adegan pertama mengisahkan sisi gelap bocah beramput pirang
bernama Oskar yang tertindas. Ia, sebagai korban bullying, sedang memeragakan kemarahannya terhadap teman penindas (bully) di sekolah. Meski tinggal di
sebuah flat bersama sang ibunda, kita
tahu bahwa Oskar kesepian. Ia juga sedang berada di persimpangan pubertas.
Nuansa tanah Skandinavia yang
sedang berselimutkan salju menambah kemuraman cerita. Oskar punya kenalan baru
yang menempati persis di sebelah flat-nya.
Eli, namanya. Perangainya agak aneh. Misterius, tepatnya. Oskar mulai
bersimpati pada Eli setelah tahu bahwa ia berhasil menyusun kubus rubik acak menjadi
sewarna di tiap sisinya. “Jika aku bukan seorang cewek, apa kau akan tetap
menyukaiku?” Kata Eli kepada Oskar. Kalimat ini bisa menjadi salah satu kunci
utama penyibak misteri-misteri berikutnya. Apa saja? Silakan menonton sendiri.
Tiba-tiba saya teringat satu
sms balasan dari teman saya yang berisikan seperti ini: “hehe twilight versi
jauh lebih beradab ya”. Spontan saya tertawa dibuatnya, padahal saya sendiri belum
pernah menonton satu pun seri Twilight.
Jangan kira Right One merupakan tontonan
berlabel drama horor biasa. Ia beda. Kalau dikatakan sebagai film drama horor,
maka ia anomali KW-1. [B+] 01/05/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar