Jumat, 05 April 2013

Resensi Film: Bully (2012)

Sebuah suguhan film dokumenter (dokufilm) tak pernah sungguh-sungguh menghibur kita. Itu cam bagi saya, sebelum menyaksikannya. Niatan sudah diatur sejak awal. Saya bakalan menonton sajian kritis dan punya misi khusus. Dalam film ini lewat judul saja sudah bisa dipahami tema, topik, bahkan tujuannya. Saya agak menemui kesukaran menerjemahkan istilah “bully” dalam bahasa Indonesia. Menurut salah satu versi kamus terjemahan, artinya (1) penggertak atau (2) orang yang mengganggu orang lemah. Saya condong pilih makna yang kedua, namun sayangnya arti tersebut kepanjangan untuk ditulis/disebutkan. Mari kita pakai saja kata “bully” (dengan huruf miring) sebagai penanda bahasa asing.

Di film ini sekurangnya ada 5 cerita bullying yang dibeberkan. Rata-rata dari sudut pandang si korban bullying bukan dari si/para bully. Dari sini saja kita sudah mengerti bahwa film ini berat selisih. Namun hal ini tentu saja bukan tanpa tujuan. Dokufilm ini mencoba fokus pada implikasi negatif dari praktik-praktik bullying yang umumnya terjadi di lingkungan sekolah. Meski saja sebenarnya kasus bullying bisa terjadi di mana-mana. Sekali lagi, fokus. Itulah tujuan si pembuat film dengan memilih: (1) sudut pandang korban; dan (2) terjadi di lingkungan sekolah.

Saya sering sungkan melancarkan komplain terhadap dokufilm. Sebab, jenis film yang satu ini bukan bertujuan utama menghibur penonton. Walaupun demikian, saya biasanya bakal mengomentari dokufilm terutama pada faktor stimulusnya. Apakah film tersebut menggerakkan atau tidak. Nah, bagi saya Bully ada di skala sedang-sedang saja. Secara kemasan, sama sekali tak ada yang spesial. Seperti dokufilm lainnya, Bully bak sebuah bagian dari paket advokasi. Mengingatkan lagi tentang tanggung jawab kita terhadap lingkungan sosial. Masih terngiang di telinga saya satu lagu dalam film berjudul Teenage Dirtbag versi koor, yang mana versi asli (band) dulunya tak begitu saya sukai. [B] 02/04/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar