Senin, 08 April 2013

Resensi Film: The Hobbit: An Unexpected Journey (2012)

Acapkali mendengar nama strada Peter Jackson selalu terbersit trilogi epik The Lord of the Rings. Sudah kadung identik. Setelah merampungkan proyek trilogi The Rings, hanya satu judul film yang berhasil ia orbitkan secara sukses yakni King Kong. Karya lainnya, semisal The Lovely Bones, tenggelam terlupakan. Kali ini Peter mencoba peruntungannya kembali lewat cerita yang juga merupakan hasil kreasi dari penulis trilogi The Rings, J.R.R. Tolkien.

Ceritanya masih nyambung. Mudahnya, The Hobbit merupakan prekuel kisah trilogi The Rings. Kalau dulu tokoh utamanya merupakan si Hobbit bernama Frodo maka di sini yang jadi karakter utamanya adalah Bilbo Baggins, paman Frodo. Apabila di trilogi The Rings misinya menghancurkan cincin ampuh sumber kisruh, maka dalam The Hobbit misinya penguasaan kembali tanah air bangsa Dwarf yang telah sekian lama dikuasai oleh Smaug, seekor naga buas tak bertuan.

Lalu, apa hubungannya dengan Bilbo yang jelas-jelas bukan berasal dari bangsa Dwarf? Dalam misi ini ia menjadi anggota pasukan yang berposisikan sebagai “maling”. Satu posisi penting yang tak bisa diperankan oleh bangsa Dwarf. Total mereka 15 orang. Hanya 2 di antaranya yang bukan Dwarf: Gandalf (penyihir) dan Bilbo (Hobbit).

Saya pernah iseng-iseng mengecek ulasan dari kritikus film tentang The Hobbit. Umumnya, pada kurang terpuaskan. Bagi saya, jelas kurang adil dan tepat kalau melulu banding-bandingkan tiap karya baru dari Jackson dengan mahakarya (hingga saat ini) trilogi The Rings-nya. Dengan mencoba tak mempertimbangkan karya terdahulunya, The Hobbit cukup menjanjikan. Rumus-rumus yang dipakai masih sama, bedanya (di antaranya) sekarang tersedia versi 3D dan aspek teknis lain seperti pemakaian teknologi 48 fps.

Hasil akhirnya, petualangan The Hobbit tetap seru diikuti. Fase introduksi awal memang selalu hampir jatuh pada efek menjemukan, sebagaimana yang dialami dalam seri The Fellowship of the Ring. Pada variabel ini, menurut saya Peter belum begitu berhasil memperbaiki. Namun dalam tataran keseruan aksi petualangan dan eksploitasi keindahan panorama, jelas ada kemajuan. Musik ilustrasi masih mengekor dari trilogi The Rings, dan sejauh yang saya nikmati sepertinya The Hobbit belum temukan iringan baru yang khas.

Sebagai penutup, secara umum dosis The Hobbit jauh lebih ringan dibanding trilogi The Rings. Ia terabai atas kilau kemasyhuran kakak angkatannya. Tapi saya melihat ada potensi dalam The Hobbit, yang direncanakan jadi trilogi pula. Saya tunggu sekuelnya… [B] 07/04/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar