Saya percaya bila ada tips
yang mencantumkan poin bahwa menonton film drama bagus bisa menjadi salah satu
sarana pengubah mood, dari buruk
menjadi baik. Itu berlaku buat satu film Jepang ini, Departures. Awalnya saya agak sangsi bakal terlenakan oleh film
ini, mengingat di durasi awalnya film ini terkesan sangat ala Holiwut. Sejak
awal struktur plotnya sudah ketahuan 3 babak, dan beberapa bagian akting
pemeran utamanya nampak sintetis. Tapi, apa mau dikata… Cerita film ini humanis
sekali. Susah menolak untuk tak peduli.
Seorang musikus muda pemain
cello (apa istilahnya?cellis?) baru saja tunakerja karena grup orkesnya
dibubarkan. Ia masih menanggung hutang banyak atas pembelian cello barunya. Ia
dan sang isteri rela dan sepakat menyingkir, pindah dari Tokyo ke kota kecil
tempat kelahirannya demi kelangsungan hidup. Menempati rumah warisan dan
memulai kehidupan baru. Yang membuat film ini mulai kuat mencantolkan kail pada
penontonnya adalah segala hal tentang profesi baru yang dijalankan si musikus
pengangguran tersebut.
Lewat ekspos kultur Jepang
dalam prosesi jelang pemakaman, film ini teramat sentimental berujar. Satu babak
montase dalam film ini memang jawara. Bagi saya, film ini paradoks. Secara
teknis, film naratif ini sangat biasa dan lumrah namun secara substansial film
ini berhasil melompati sensasi yang tersampaikan oleh film-film berteknis biasa
dan lumrah. Ia secara elegan mampu bubuhkan kutipan-kutipan pelajaran tentang
kehidupan dan kematian tanpa berusaha memaksakan diri tampil sebagai si hebat. Satu
lagi tontonan penyejuk hati dari Negeri Sakura. [B+] 09/04/13
saya setuju dengan ulasan diatas, film tersebut memang bagus dan menyentuh :)
BalasHapusbtw, kalau anda suka film jepang sejenis ini, anda bisa coba tonton The Woodsman and The Rain / Kitsutsuki to Ame (2011) , film drama ringan dengan sentuhan komedi yang bagus :D
nice blog! :)