Dari
dulu saya menahan diri tonton film ini. Mengapa? Saya kira, film ini agak
sinting, aneh pol, dan sejenisnya. Entah mengapa saya bisa berasumsi demikian.
Tanpa mengenal figur nyata Frida Kahlo sebelumnya, saya dibuat agak simpati
oleh film ini. Yang membuat saya geregetan sejak awal ketika menonton film ini
adalah kenapa filmnya berbahasa Inggris. Saya membatin, maksa sekali padahal
malahan lebih eksotis jika pakai bahasa asli alias Spanyol versi Mexico
(dibaca: Mehiko, he3…).
Kejutannya,
film ini tak seperti yang saya kira. Frida
kreatif dan eksperimental. Saya jadi dibuat asyik saja menikmatinya. Mengenal
Frida secara jenaka dan santai dengan sedikit meledak-ledak. Tapi tak
mengurangi unsur dramatik yang pastinya ditunggu-tunggu para pemuja film mellow. Saya tak terharu, sama sekali.
Menyaksikan film ini seperti ada satu bagian yang menjadi magnet kuat. Seperti
terselubung. Saya langsung terhipnotis dengan pesan “alone in pain”. Tak ada seorang pun yang benar-benar bisa menemani
kita saat rasakan sakit. Beuh, sadis!
Frida,
si pelukis cewek dari Meksiko yang menikahi pelukis terkenal Diego Riverra si flamboyan
milik banyak wanita. Diego tak bisa dimiliki secara utuh. Ia pemuja dan dipujai
para wanita. Bukan karena tampangnya, melainkan karena kemampuan ia menyentuh
rasa berbalutkan humor memikat. Frida sudah menyadari konsekuensi itu sejak
awal sekali. Tapi tentu saja bukan figur nyata yang menarik diceritakan jika
tak punya tragedi hidup penyayat hati.
Musik
iringan yang sangat latin sekali sayang tidak dibarengi dengan pemakaian bahasa
Spanyol dalam dialog. Itu satu-satunya anakronisme yang saya temukan mengganggu
satu film berwarna kuat ini. Selebihnya, tak perlu saya ributkan. Di film ini,
totalitas Salma Hayek dahsyat betul. [B/A] 16/05/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar