Jumat, 17 Mei 2013

Resensi Film: Frida (2002)

Dari dulu saya menahan diri tonton film ini. Mengapa? Saya kira, film ini agak sinting, aneh pol, dan sejenisnya. Entah mengapa saya bisa berasumsi demikian. Tanpa mengenal figur nyata Frida Kahlo sebelumnya, saya dibuat agak simpati oleh film ini. Yang membuat saya geregetan sejak awal ketika menonton film ini adalah kenapa filmnya berbahasa Inggris. Saya membatin, maksa sekali padahal malahan lebih eksotis jika pakai bahasa asli alias Spanyol versi Mexico (dibaca: Mehiko, he3…).

Kejutannya, film ini tak seperti yang saya kira. Frida kreatif dan eksperimental. Saya jadi dibuat asyik saja menikmatinya. Mengenal Frida secara jenaka dan santai dengan sedikit meledak-ledak. Tapi tak mengurangi unsur dramatik yang pastinya ditunggu-tunggu para pemuja film mellow. Saya tak terharu, sama sekali. Menyaksikan film ini seperti ada satu bagian yang menjadi magnet kuat. Seperti terselubung. Saya langsung terhipnotis dengan pesan “alone in pain”. Tak ada seorang pun yang benar-benar bisa menemani kita saat rasakan sakit. Beuh, sadis!

Frida, si pelukis cewek dari Meksiko yang menikahi pelukis terkenal Diego Riverra si flamboyan milik banyak wanita. Diego tak bisa dimiliki secara utuh. Ia pemuja dan dipujai para wanita. Bukan karena tampangnya, melainkan karena kemampuan ia menyentuh rasa berbalutkan humor memikat. Frida sudah menyadari konsekuensi itu sejak awal sekali. Tapi tentu saja bukan figur nyata yang menarik diceritakan jika tak punya tragedi hidup penyayat hati.

Musik iringan yang sangat latin sekali sayang tidak dibarengi dengan pemakaian bahasa Spanyol dalam dialog. Itu satu-satunya anakronisme yang saya temukan mengganggu satu film berwarna kuat ini. Selebihnya, tak perlu saya ributkan. Di film ini, totalitas Salma Hayek dahsyat betul. [B/A] 16/05/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar