Senin, 06 Mei 2013

Resensi Film: Biutiful (2010)

Belakangan ini saya jarang mampu ditarik masuk ke dalam sebuah film. Biutiful muncul sebagai obat penawar sejenak. Bagi saya, kredit untuk film ini perlu disematkan untuk si pemeran utama (Javier Bardem), si pengolah gambar, dan tentu saja si strada (Inarritu). Bagi Anda yang sudah kenal baik karya-karya Inarritu (Amores Perros, 21 Grams, Babel) maka takkan begitu asing dengan Biutiful. Formula andalan yang dipakai masih sama: bertema multikultur-marjinal-humanis dengan penjabaran plot beranak-pinak, dan di film ada adegan yang diulang lewat sudut pandang lain.

Melodrama getir ini berangkat dari sebuah ide yang tersampaikan secara manis di bagian akhir film. Apakah itu? Rahasia. He3… Setelah kita menyaksikan suguhan banjir problema selama sekitar 2 jam 20 menit, baru tahu maksud atau niatan Inarritu menghadirkan karya ini ketika film menjelang babak-babak akhir. Walaupun tak terlalu fokus pada konsep dasar cerita, film ini punya banyak sekali pesan sponsor dijejalkan, yang saya timbang tak terlalu mubazir.

Jika dibandingkan dengan film-film Inarritu sebelumnya, Biutiful lebih bisa menahan diri untuk tak terlalu heboh. Cakupan ceritanya lebih sempit dan personal. Ini pula yang membuat saya menjadi lebih tersedot ke dalam jalinan ceritanya. Memang, bisa disadari bahwa kejadian-kejadian emosional dalam film ini cenderung formulaik dan berlebihan (tak serealis ketika kita menonton film-film Michael Haneke). Buat saya, keberlebihan itu masih bisa dipandang tampak alami.

Lalu, tentang apa film ini berujar? Secara permukaan, film ini tentang perjuangan seorang pria menghadapi pelbagai hal: diri sendiri, keluarga, lingkungan, dan ilahiah. Kebangetan, bukan? Tapi Inarritu dengan pendekatan khasnya menyulap Biutiful dari santapan rohani berseni rumit menjadi dokumentasi indah atas sebuah karya persembahan. [B+] 05/05/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar