Belakangan ini saya jarang
mampu ditarik masuk ke dalam sebuah film. Biutiful
muncul sebagai obat penawar sejenak. Bagi saya, kredit untuk film ini perlu
disematkan untuk si pemeran utama (Javier Bardem), si pengolah gambar, dan
tentu saja si strada (Inarritu). Bagi Anda yang sudah kenal baik karya-karya Inarritu
(Amores Perros, 21 Grams, Babel) maka takkan begitu asing dengan Biutiful. Formula andalan
yang dipakai masih sama: bertema multikultur-marjinal-humanis dengan penjabaran
plot beranak-pinak, dan di film ada adegan yang diulang lewat sudut pandang
lain.
Melodrama getir ini berangkat
dari sebuah ide yang tersampaikan secara manis di bagian akhir film. Apakah
itu? Rahasia. He3… Setelah kita menyaksikan suguhan banjir problema selama
sekitar 2 jam 20 menit, baru tahu maksud atau niatan Inarritu menghadirkan
karya ini ketika film menjelang babak-babak akhir. Walaupun tak terlalu fokus
pada konsep dasar cerita, film ini punya banyak sekali pesan sponsor dijejalkan,
yang saya timbang tak terlalu mubazir.
Jika dibandingkan dengan
film-film Inarritu sebelumnya, Biutiful lebih
bisa menahan diri untuk tak terlalu heboh. Cakupan ceritanya lebih sempit dan
personal. Ini pula yang membuat saya menjadi lebih tersedot ke dalam jalinan
ceritanya. Memang, bisa disadari bahwa kejadian-kejadian emosional dalam film
ini cenderung formulaik dan berlebihan (tak serealis ketika kita menonton
film-film Michael Haneke). Buat saya, keberlebihan itu masih bisa dipandang
tampak alami.
Lalu, tentang apa film ini
berujar? Secara permukaan, film ini tentang perjuangan seorang pria menghadapi
pelbagai hal: diri sendiri, keluarga, lingkungan, dan ilahiah. Kebangetan, bukan? Tapi Inarritu dengan
pendekatan khasnya menyulap Biutiful dari
santapan rohani berseni rumit menjadi dokumentasi indah atas sebuah karya
persembahan. [B+] 05/05/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar