Senin, 04 Februari 2013

Resensi Film: Life of Pi (2012)


Beberapa teman saya sangat merekomendasikan film ini. Begitu banyak yang mengaguminya. Saya pun membaca beberapa resensi Pi, di antaranya lewat Tempo, RollingStone, dan ulasan Roger Ebert. Walau tak saling rembug, semua sepakat kalau film ini secara visual superior. Plus, kisah perjalanan spiritualnya pun berhasil dikemukakan. Setelah terlewat penayangannya di bioskop, beruntung saya bisa segera menyusul menontonnya via kopian hasil unduhan.

Awal film langsung dibuka dengan babak opening credit tanpa embel-embel pengenalan plot terlebih dulu. Keindahan, itulah konsep dasarnya. Sambil diiringi hembusan irama dan gumaman khas musik India, kita saksikan montase beraneka hewan. Pengaturan warna layar diatur sedemikian rupa cerianya. Duh, babak awal ini amatlah memikat hati.

Penuturannya bertingkat. Si karakter utama bernama Pi sedang bercerita kepada seorang novelis. Visualisasi berlangsung maju-mundur, Pi dewasa, Pi kecil, dst. Apa-apa yang Pi ceritakan ke si novelis-lah yang menjadi plot utama film ini. Sebuah kisah petualangan luar biasa yang hampir tak masuk akal. Pi kecil hidup dan dibesarkan di lingkungan kebun binatang. Itu kutipan dari salah satu kalimat dalam dialog naskah film. Orang tuanya sangat demokratis, membawa nuansa keluarga India baru yang tak konservatif. Keterbukaan ini menyeret Pi ke dalam kawah kebebasan spiritualistik. Ia lahir sebagai pemeluk Hindu, lalu bertemu dengan ajaran Katolik, kemudian mengagumi Islam pula.

Keluarga mereka punya kebun binatang. Suatu kala, kendala menghadang mereka. Kesempatan mengembangkan usaha di Kanada lebih rasional ketimbang mempertahankan diri berada di India. Pindahlah serombongan keluarga ini beserta hewan-hewan asetnya ke Kanada mengarungi jalur laut. Di tengah jalan, kapal mereka dihajar badai. Pi termasuk yang terselamatkan seorang diri di atas sebuah sekoci dikawani beberapa hewan.

Petualangan bertahan hidup (yang pada akhirnya hanya tersisa) bersama seekor harimau inilah yang menjadi media kisah perjalanan spiritualisme Pi. Mempertanyakan keberadaan Tuhan, berkomunikasi dengan ilahi, dan sejenisnya. Saya rasa, di sini si strada Ang Lee memilih jalan tengah. Ia tak mau terlalu berat membahas ihwal ketuhanan namun juga mempertimbangkan detail kebutuhan aspek estetika teknis. Betapa tidak, saya tak begitu merasa tergetar dengan dialog-dialog spiritualnya namun terjaga oleh supereloknya kemasan gambar.

Semua mengalir aman, dinamika terjaga. Saya melihat Forrest Gump, Cast Away, Big Fish. Adegan-adegan bergambar kosmetikal membuat penonton terhipnotis rasakan sensasi fiksi novel. Akhir film yang lembek memainkan peranan jebakan logika berputarnya secara baik. Membuat bagian ini terselamatkan. Apa yang saya amati dalam film ini bukan lain merupakan satu bukti lain dari Ang Lee sebagai seorang strada lintaskultur. Sekarang saatnya India yang diangkat ke permukaan. Selanjutanya apa lagi? Ungkapan: nothing is impossible masih betul-betul relevan untuk Ang Lee. [A-] 04/02/13    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar