Beberapa teman saya sangat merekomendasikan
film ini. Begitu banyak yang mengaguminya. Saya pun membaca beberapa resensi Pi, di antaranya lewat Tempo, RollingStone, dan ulasan Roger Ebert. Walau tak saling rembug,
semua sepakat kalau film ini secara visual superior. Plus, kisah perjalanan
spiritualnya pun berhasil dikemukakan. Setelah terlewat penayangannya di
bioskop, beruntung saya bisa segera menyusul menontonnya via kopian hasil
unduhan.
Awal film langsung dibuka dengan babak opening credit tanpa embel-embel
pengenalan plot terlebih dulu. Keindahan, itulah konsep dasarnya. Sambil diiringi
hembusan irama dan gumaman khas musik India, kita saksikan montase beraneka
hewan. Pengaturan warna layar diatur sedemikian rupa cerianya. Duh, babak awal
ini amatlah memikat hati.
Penuturannya bertingkat. Si karakter utama
bernama Pi sedang bercerita kepada seorang novelis. Visualisasi berlangsung
maju-mundur, Pi dewasa, Pi kecil, dst. Apa-apa yang Pi ceritakan ke si novelis-lah
yang menjadi plot utama film ini. Sebuah kisah petualangan luar biasa yang hampir
tak masuk akal. Pi kecil hidup dan dibesarkan di lingkungan kebun binatang. Itu
kutipan dari salah satu kalimat dalam dialog naskah film. Orang tuanya sangat
demokratis, membawa nuansa keluarga India baru yang tak konservatif.
Keterbukaan ini menyeret Pi ke dalam kawah kebebasan spiritualistik. Ia lahir
sebagai pemeluk Hindu, lalu bertemu dengan ajaran Katolik, kemudian mengagumi
Islam pula.
Keluarga mereka punya kebun binatang.
Suatu kala, kendala menghadang mereka. Kesempatan mengembangkan usaha di Kanada
lebih rasional ketimbang mempertahankan diri berada di India. Pindahlah
serombongan keluarga ini beserta hewan-hewan asetnya ke Kanada mengarungi jalur
laut. Di tengah jalan, kapal mereka dihajar badai. Pi termasuk yang terselamatkan
seorang diri di atas sebuah sekoci dikawani beberapa hewan.
Petualangan bertahan hidup (yang pada akhirnya
hanya tersisa) bersama seekor harimau inilah yang menjadi media kisah
perjalanan spiritualisme Pi. Mempertanyakan keberadaan Tuhan, berkomunikasi
dengan ilahi, dan sejenisnya. Saya rasa, di sini si strada Ang Lee memilih
jalan tengah. Ia tak mau terlalu berat membahas ihwal ketuhanan namun juga
mempertimbangkan detail kebutuhan aspek estetika teknis. Betapa tidak, saya tak
begitu merasa tergetar dengan dialog-dialog spiritualnya namun terjaga oleh supereloknya
kemasan gambar.
Semua mengalir aman, dinamika terjaga.
Saya melihat Forrest Gump, Cast Away,
Big Fish. Adegan-adegan bergambar
kosmetikal membuat penonton terhipnotis rasakan sensasi fiksi novel. Akhir film
yang lembek memainkan peranan jebakan logika berputarnya secara baik. Membuat bagian
ini terselamatkan. Apa yang saya amati dalam film ini bukan lain merupakan satu
bukti lain dari Ang Lee sebagai seorang strada lintaskultur. Sekarang saatnya
India yang diangkat ke permukaan. Selanjutanya apa lagi? Ungkapan: nothing is impossible masih betul-betul relevan
untuk Ang Lee. [A-] 04/02/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar