Jumat, 08 Februari 2013

Resensi Film: Django Unchained (2012)

Mas Quentin Tarantino… Sepertinya Anda sekarang sedang gandrung dengan sejarah. Dua film terakhir Tarantino mengambil fenomena historis: rezim Hitler (Inglorious Bastards) dan perbudakan USA (Django Unchained). Yang tak pernah hilang dari ciri khas tiap karyanya adalah kesintingan bin nyentrik. Semua aspek dimainkan: manuver plot, komposisi musik, desain produksi, dll. Herannya, makin ke sini karya-karya Tarantino berevolusi insyaf. Kian santun dan bersahaja—pada skalanya sendiri.

Ini satu kisah epik. Tentang budak bernama Django yang dilepas dari belenggu rantai. Oleh pembelinya, ia dibuat menjadi manusia bebas yang dimanusiakan di tengah era perbudakan-menjijikkan USA sekitar pertengahan abad ke-19. Ia dan pembebasnya bermitra sebagai tim bounty hunter (pembunuh bayaran). Itu pilihan-hidup bengis mereka, mendulang emas lewat jalan keji. Namun, mereka juga punya tujuan utama lain yang mulia: membebaskan isteri Django dari tirani tuan budak.

Film western berdurasi nyaris 3 jam ini sangat mudah dicerna. Sepanjang ingatan saya, bahkan ini film paling enteng dari Tarantino. Tak banyak simbol-simbol analogi atau metafora. Walau demikian, nilai yang diangkat Tarantino selalu membuat merinding. Kali ini ia buat film “dogmatis” antiperbudakan, yang akan relevan sampai kapanpun mengingat di beberapa penjuru bagian bumi ini masih saja berlangsung sistem perbudakan. Entah tertutup atau terbuka, baik dikemas apik maupun tidak.

Lelucon yang termudah ditebak dalam film ini adalah… Quentin Tarantino main sebagai cameo. Apa keisengan ini yang ditiru-tiru Hanung Bramantyo dalam beberapa karya filmnya? Okelah, tak masalah. Yang penting Django tetap membara tak tertindas otoritarian di balik pelecehan sapaan: “Nigger!”. [B/A] 08/02/13    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar