Mas Quentin Tarantino…
Sepertinya Anda sekarang sedang gandrung dengan sejarah. Dua film terakhir
Tarantino mengambil fenomena historis: rezim Hitler (Inglorious Bastards) dan perbudakan USA (Django Unchained). Yang tak pernah hilang dari ciri khas tiap
karyanya adalah kesintingan bin nyentrik. Semua aspek dimainkan: manuver plot,
komposisi musik, desain produksi, dll. Herannya, makin ke sini karya-karya
Tarantino berevolusi insyaf. Kian santun dan bersahaja—pada skalanya sendiri.
Ini satu kisah epik. Tentang
budak bernama Django yang dilepas dari belenggu rantai. Oleh pembelinya, ia dibuat
menjadi manusia bebas yang dimanusiakan di tengah era perbudakan-menjijikkan
USA sekitar pertengahan abad ke-19. Ia dan pembebasnya bermitra sebagai tim bounty hunter (pembunuh bayaran). Itu pilihan-hidup
bengis mereka, mendulang emas lewat jalan keji. Namun, mereka juga punya tujuan
utama lain yang mulia: membebaskan isteri Django dari tirani tuan budak.
Film western berdurasi nyaris 3 jam ini sangat mudah dicerna. Sepanjang
ingatan saya, bahkan ini film paling enteng
dari Tarantino. Tak banyak simbol-simbol analogi atau metafora. Walau demikian,
nilai yang diangkat Tarantino selalu membuat merinding. Kali ini ia buat film “dogmatis”
antiperbudakan, yang akan relevan sampai kapanpun mengingat di beberapa penjuru
bagian bumi ini masih saja berlangsung sistem perbudakan. Entah tertutup atau
terbuka, baik dikemas apik maupun tidak.
Lelucon yang termudah ditebak
dalam film ini adalah… Quentin Tarantino main sebagai cameo. Apa keisengan ini yang ditiru-tiru Hanung Bramantyo dalam beberapa
karya filmnya? Okelah, tak masalah. Yang penting Django tetap membara tak tertindas otoritarian di balik pelecehan
sapaan: “Nigger!”. [B/A] 08/02/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar