Selasa, 19 Februari 2013

Resensi Film: The Class (2008)

Bagai melihat ruji-ruji roda berputar, itu wujud problema kependidikan di sekolahan di mata saya. Di luar aspek substansial, sekolahan ibarat pasar intelektual. Tempat transaksi. Dalam film peraih palem emas tanpa iringan musik ini, si sutradara merangkap penulis skenario secara cermat mengemas dinamika kelas menjadi sebuah bahan diskusi-introspektif multiperspektif.

Sampelnya adalah satu kelas sastra Prancis, diampu oleh seorang guru pria yang sempat dikonfirmasi langsung oleh muridnya: apakah dia gay atau bukan? Dari satu torehan adegan ini saja kita sudah bisa mengendus aroma kritis. Menonton keseluruhan film ini seperti menyaksikan arogansi perdebatan kritis. Sopan santun menjadi barang mewah. Semua serba dipertanyakan dan didebat. Bola salju argumentasi tak selalu menggelinding mulus, acapkali malah menjadi bola api yang siap membakar siapapun yang disinggungnya.

Pada sebagian besar durasinya memang The Class menyoroti adegan dalam kelas secara realistik (asyik diikuti), namun lambat laun ia mengupas hal-hal secara komprehensif. Mulai dari problema manajerial sekolah sampai dengan latar belakang murid-murid bermasalah. Tanpa perlu mengutarakannya secara frontal. [B+] 19/02/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar