Apa?! Dibuat lagi! Mau sampai
kapan cerita kreasi Victor Hugo ini didaur-ulang. Di luar keagungan ceritanya,
saya hanya tak berminat lagi keseringan menonton film adaptasi Les. Terakhir, saya tonton versi yang
dibintangi Liam Neeson. Kagetnya lagi, yang sekarang ini merupakan versi musikal
turunan dari seni pertunjukan panggung. Alamak, sudah adaptasian dari hasil
adaptasi pula. Beranak-pinak. Dari buku, ke panggung, terus ke layar lebar.
Kalau bukan karena stradanya Tom Hooper (The
King’s Speech) dan dibintangi aktor-aktris tersohor, dijamin saya bakal tak
mau membuang waktu senggang.
Tak perlu saya tulis
sinopsisnya. Bagi siapa saja yang belum menonton Les (2012), siap-siap saja bakal disuguhi 2,5 jam penuh nyanyian,
sangat minor dialog—mungkin tak lebih dari 5% total durasi. Sebuah pengalaman
baru bagi saya. Tepuk tangan buat saya sendiri telah sukses mengkhatamkan film
ini. Sinematografinya pun jelas memanjakan mata. Beberapa pengambilan gambar
berasa seperti menyimak video klip mewah, meskipun berteknik hand-held. Lantas, apa yang paling spesial?
Saya kira adegan Anne Hathaway ketika menyanyikan I Dreamed a Dream. Tonton
saja dan Anda akan tahu apa yang saya maksud.
Komplain utama dari saya untuk
Les (2012) adalah boros durasi. Secara
keseluruhan saya rasa film ini lebay,
tapi anggun setengah mati. Semua lini tak ada yang di bawah standar holiwut. Andai saja naskahnya berangkat
dari skenario orisinil atau adaptasian yang jarang diadaptasi, pasti bakal beda
komentarnya. Bakalan spektakuler mengingat penonton akan menemui percikan
kejutan plot. Jadinya kita bukan sekadar saksikan kemasan ulang dari sebuah
cerita yang kelewat popular mendunia. Maksud saya, lantas tujuan utama dan
ambisi apa yang ingin dicapai produksi film kolosal ini selain dari menyuguhkan
kemasan lain? [B+] 07/02/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar