Minggu, 01 Mei 2011

Resensi Film: Open Range (2003)


Kuartet penggembala liar nomaden menggiring kuda-kuda ternak yang mereka bawa ke prairie demi prairie. Mereka berempat di bawah komando satu bos senior. Tibalah di suatu lokasi ketika mereka mendapat hambatan dari sebuah dusun pimpinan migran Irlandia nan otoriter dan represif. Sekawanan tersebut menjadi target bulan-bulanan atas nama tata sistem pemanfaatan sumber alam ala si bos Irlandia. Mereka dituntut telah melanggar hukum karena membiarkan kuda-kuda ternak gembalaan mereka memakan rerumputan di kawasan bos Irlandia tanpa izin (baca: memberi komisi).

Di luar subplot penghiasnya, itulah plot utama Open Range. Film yang berdurasi 2 jam lebih ini terbilang sangat western. Menampilkan kekhasan dunia koboi berikut kompleksitas polarisasi dalam akar sejarahnya. Berlatar akhir abad ke-19 membuat Open Range aman dan tepat dikreasikan memakai cara-cara sinematik klasik. Memang, terlalu bergaya lama dan kontraproduktif. Namun apa boleh buat karena si strada yang juga merupakan pemeran dalam film, Kevin Costner, menempuh jalan seperti itu. Mengenangkan kembali kepada karya-karya Anthony Mingghela (Cold Mountain).

Sorot kamera ke alam terbuka dalam hamparan kanvas panorama pedesaan Amerika, membuat saya betah menyaksikan film ini walau sejatinya durasi merangkak begitu lamban. Sungguh terlahir sebagai film yang bakal membuat kita berasa bernostalgia dengan judul-judul jadul. Tanpa ekpos kekerasan berlebih, nihil seks berkeringat, dan absen sinematografi manuveristik. Tata fotografi, tata artistik, komposisi musik, dan penulisan naskah bekerja keras membangun kesan anggun itu.

Hanya saja, satu hal negatif yang mencuat setelah menonton Open Range adalah faktor mudah terlupakan. [B] 01/05/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar