Minggu, 01 Mei 2011

Resensi Film: Fair Game (2010)

Naomi Watts dan Sean Penn berperan sebagai pasangan Wilson yang terkait dengan isu besar latar belakang invasi Amerika Serikat ke Irak dalam Perang Teluk jilid II. Mereka dipertemukan oleh strada seri orisinil Bourne, Doug Liman, dalam sebuah cerita ekstraksi atas dua buku: The Politics of Truth karya Joseph Wilson (suami) dan Fair Game dari Valerie Plame (isteri). Masih relevankah isu ini diangkat terus-menerus ketika kita sudah bukan misteri lagi?

Andai saja film ini ada sebelum tahun 2003, pastilah mencengangkan dan meresahkan. Betapa tidak? Karena kita menjadi tahu bagaimana Gedung Putih secara anehnya bisa mengumumkan fakta potensial tanpa sebuah bukti dan berkoordinasi sehat dengan badan intelejennya, CIA. Dalam lingkaran kejadian ini, Valerie (Watts) menjadi agen CIA penyelidik kebenaran proliferasi sedangkan Joe (Penn) merupakan mantan ekspatriat yang direkomendasikan mencari tahu perkembangan hubungan dagang bijih uranium antara Irak dan Niger. Semua tentang memastikan benar-tidakkah rezim Saddam Husein masih gencar kembangkan senjata pemusnah massal.

Selain karena karakternya nyata dan disusun dari buku pelakunya langsung, Fair Game asli dalam hal mempertontonkan keintiman hubungan suami-isteri berprofesi politis ini. Mereka alami naik-turun keharmonisan rumah tangga akibat kerumitan status politik yang masing-masing emban. Mengguncang wacana skala prioritas. Di sini jadi membuat kita berpikir kembali untuk apa dan di mana letak cinta berada.

Bourne-ish sangat terasa dalam film ini meski bukan dalam tataran aksinya, melainkan ketegangan politik berlapis-lapis. Dengan cap penanda waktu, Fair Game menghasilkan karya sejarah bersudut pandang intelejen. [B+] 01/05/11

1 komentar: