Jumat, 20 Mei 2011

Resensi Film: Paris (2009)

Membayangkan sedang berada di tengah kota (yang dibilangnya) teromantis sedunia, city of blinding lights, de-el-el. Duduk di bangku taman atau sekadar berjalan sambil mengamati orang-orang di sekeliling. Itulah film Paris. Kita merasa iri dan memandang orang lain lebih beruntung atau bahkan lebih bahagia dibanding kita. Ups, ini salah satu makna ending yang hendak disampaikan stradanya. Maaf, bagi yang terganggu karena saya lancang melukiskan akhir film. Tapi, Paris bukanlah film pencarian ending. Ia warna pastel dalam sebuah amsal kontras.

Di dalamnya terkisah multikarakter kehidupan kolokial Paris. Ada satu karakter utama yang membuka cerita sekaligus menjadi penutup film. Ia divonis sakit jantung dan menunggu transplantasi, sedang kemungkinan bertahan hidupnya kecil. Lalu disambunglah dengan kisah saudara perempuannya yang bersedia menemani dan mengurus ia sambil membawa ketiga anaknya. Begitulah seterusnya. Kita akan menjumpai karakter-karakter baru yang secara tak jelas nantinya akan berhubungan atau tidak. Setidaknya kalau saya hitung ada lebih dari 5 plot paralel dalam film yang cukup terasa lama ini. Tinjauan sinema saya jatuh kepada Babel, Amores Perros, Crash, juga Paris J’Taime. Bila disandingkan judul-judul yang saya sebut barusan, Paris bakalan menderita jika diperbandingkan. Tenang saja, bukan itulah yang Paris mau.

Satu benang merah yang menurut saya cocok dilayangkan untuk Paris adalah sakit. Semua orang di dalam film itu sedang sakit. Dalam artian tak hanya sebatas sakit secara medis namun juga sakit sosial dan hal-hal tak nyata lainnya. Sebuah ironi dipertontonkan kepada kita. Seolah-olah menunjukkan kepada penonton bahwa itulah Paris. Kalian melihat indahnya dari sudut pandang diorama, tapi inilah kami sewajarnya yang juga memandang rumput tetangga lebih hijau. Beruntunglah bagi siapapun yang pandai bersyukur. [B] 20/05/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar