Minggu, 24 April 2011

Resensi Film: The Company Men (2010)


“In America, we give our lives to our jobs. It’s time to take them back,” tagline The Company Men.

Sampai saat ini ekonomi makro USA masih belum mampu tumbuh, hal ini diperkuat sajian survei potensi gagal bayar utang luar negeri global. Tahun lalu sebuah film berjudul The Company Men diproduksi dengan menyinggung prahara kapital di sebuah perusahaan galangan kapal ternama. Nilai saham terjun bebas, banyak divisi ditutup demi efisiensi. Otomatis, PHK-pun bak tsunami. Sebuah mimpi buruk bagi semua korban PHK.

Film dibangun dari 3 tokoh pilar: (1) Bobby, eksekutif muda bagian pemasaran yang diperankan Ben Affleck; (2) Tommy Lee Jones yang menjadi Gene, salah seorang bos perusahaan; dan (3) Phil, tangan kanan Gene yang dimainkan Chris Cooper. Mereka satu per satu dipecat dari perusahaan yang selama ini menjadi tempat mereka menggali “emas” demi membangun status sosial berkehidupan mewah dan mapan. Apa jadinya bila mendadak saluran pipa utama penghasilan ditutup. Malapetaka rumah tangga jelas menghadang di depan.

Bobby yang sejak pertama berkarier langsung mendapat pekerjaan “berkerah putih” dihadapkan pada identitas baru tanpa martabat dengan menjadi pengangguran berusia 37 tahun yang kesana-kemari menenteng CV mencari posisi lama di tempat baru. Bobby mendapat tes mental melepas gengsi karena hidup terus berjalan meski perkerjaan tak ada. Sedikit demi sedikit barang-barang miliknya dijual. Di fase inilah ia terpaksa berdamai dengan sang kakak ipar—sebuah peran kecil yang dibintangi apik oleh Kevin Costner—yang menawari pekerjaan kasar.

Gene yang memang tengah mengalami kelesuan hubungan rumah tangga jadi semakin yakin mencari biduk baru. Ia yang telah membangun bersama perusahaan sejak dari nol, prihatin dengan kondisi PHK. Dari karakter ini, terdapat pesan tentang bisnis adalah bisnis. Tak peduli etika, yang penting syah. Sedangkan Phil mewakili karakter penuh melodramatik. Sampai-sampai isteri Phil menyuruhnya tetap berlagak seperti masih bekerja walau di luar rumah jelas-jelas tidak ada kerjaan.

The Company Men adalah sebuah refleksi. Ia mengingatkan, tak ada pekerjaan sepele. Pekerjaan kotor dan kasar tetaplah pekerjaan dan tak boleh dilecehkan bahkan dilupakan. Dunia terus berputar dan tak diketahui idealkah sistem yang ada selama ini sampai kita sendiri yang menjadi korban. Cerita dan pesan yang reflektif ini dituturkan secara datar. Beberapa adegan terkesan kaku, merengek-rengek, dan kurang efektif. Musik pengiring di akhir menyudahi film dengan embusan optimisme. Sejak awal saya terpikat dengan sampul film yang cukup elegan, seperti ketika melihat sampul film A Single Man.

Syahdan, ketika saya bekerja di satu perusahaan swasta tak munafik sangat menanti-nanti kecipratan bonus tahunan yang tak jelas aturan mainnya. Film ini menyentil dan menggelitik saya sebab ada kedekatan emosional. Ketika perkerjaan dirasa telah terlalu menguasai kehidupan, tentu jadi saat tepat mengevaluasi diri untuk sebuah resolusi. Saat itu terjadi, The Company Men mewujud sebagai biro konsultasi personalia. [B-] 24/04/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar