Senin, 30 Mei 2011

Resensi Film: Blue Valentine (2010)

Rambut pirangnya terurai, terlihat lembut dan polos. Kisah cintanya perih. Karakter bernama Cindy yang dimainkan oleh Michelle Williams ini melewati perjalanan cintanya secara melodramatik. Pertama kali bersenggama di usia 13 tahun, sudah sekitar 20-an lelaki pernah menggaulinya dan baru kali ini dia terjebak dalam momok yang bernama “hamil”.

Kondisi itu terjadi ketika ia sedang dalam hubungan cinta bersama dua lelaki yang bertolak belakang. Satunya melankolis penuh intuisi, pihak lainnya seorang pecundang cinta. Tak punya rencana apa yang harus dilakukan dengan kehamilan dan gong hubungan cintanya.

Film dibuka dengan teriakan balita cewek memanggil anjing peliharaannya dalam paparan fotografis syahdu. Gadis cilik naif ini tak kenal mendung yang menggelayuti orang tuanya. Sebuah rentetan masa lalu yang rumit dan kelam. Blue mengisahkan pemulihan hubungan cinta atas pasangan yang sejak muasal dihadapkan pada situasi sulit. Berhasilkah love-restore mereka?

Perlahan demi perlahan kita akan mengetahui apa yang dulunya terjadi dengan Cindy dan pasangannya. Saya suka dengan pengoperasian sinematografi handheld dan penyuntingan plot Blue. Seperti penyandang miopia yang kadang perlu memakai lensa minus untuk melihat benda berjarak jauh. Ketika kita sedang mengerutkan dahi apa yang terjadi dulunya, maka adegan beralih ke masa lampau. Di fase inilah kaca mata berlensa minus dipasang. Semuanya disusun secara kontekstual.

Inilah film intim, mendalam dan dewasa. Fokus sekali terhadap dua karakter utama, yakni Cindy dan pasangannya. Semua pertanyaan bermotif perasaan terpapar secara eksplisit. Hanya saja saking telanjang penjelasannya—di samping banyak juga adegan seks ditampilkan—membuat Blue tampak seperti pengidap paranoid yang melebih-lebihkan hal sepele.

Jadi teringat kembali dengan Revolutionary Road, film perseteruan rumah tangga serupa. Tapi perlu saya tekankan bahwa Road dan Blue bukan macam film penyaji frustrasi pasangan yang sedang dirundung masalah. Blue, dengan segala kerendahan hatinya, mengingatkan kepada kita akan pentingnya berpikir visioner dalam membangun sebuah rumah tangga. Memang sesuatu takkan pernah dikatahui bila tak dicoba dulu. Ingat, tak ada asuransi cinta atau penjamin kelanggengan rumah tangga. [B+] 29/05/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar