Rabu, 11 Mei 2011

Resensi Film: 127 Hours (2010)

Kenapa 127 jam? Ternyata selama itulah pemanjat berkebangsaan Amerika, Aron Ralston, terjebak di celah tebing cadas saat berpetualang. Tangan kanannya terjepit batu kala terperosok. Ia tak bisa kemana-mana sebelum tangannya bisa terlepas dari batu. Waktu sisa hidup terus menghimpit, sampai akhirnya ia putuskan mengamputasi sendiri tangan kanannya.

Satu lagi judul yang mengingatkan kita akan Cast Away dan Buried. Bedanya di sini cerita survival berdasar kejadian nyata, hasil adaptasi dari buku tulisan pelakunya langsung yang berjudul “Between a Rock and a Hard Place”. Ini jadi salah satu hal yang saya suka, ketika judul film tidak dikopi plek sesuai judul bukunya. Kesan pastilah lain, karena orgasme tekstual dan dwimatra berbeda.

Fokus satu setengah jam pada satu tokoh saja tetap bisa jadi durasi pas jika ditangani strada yang tepat. 127 Hours telah tepat ditangani Danny Boyle, satu nama yang melejit ketika Slumdog Millionaire mengantarkannya sebagai strada terbaik atas film terbaik Oscar--di luar bonus puja-puji para kritikus film. Padahal saya cukup jenuh dengan karyanya yang Sunshine (2007) dan The Beach (2000). Sepertinya kini ia sedang dalam fase merekah.

Penampilan James Franco (Spider Man, Eat Pray Love) mendebarkan. Saya hampir tak percaya sebegitu dahsyatnya pendalaman karakter yang ia bangun. Terlebih lagi ketika ia berteriak minta tolong pasrah sebatang kara di tengah hamparan ngarai cadas. Saya bisa rasakan itu sebagai sebuah pelepasan rasa tanpa harapan. Hanya beberapa alat yang menemani Aron selama terjebak: kamera rekam, kamera foto, botol minum, pisau lipat, dan perlengkapan pendakian lainnya. Ia rekam curahan hatinya lewat kamera. Hari-hari berlalu, angan dan ilusi bercampur aduk. Semua rasa jadi semu. Satu poin menonjol yang bisa saya tangkap dari arah cerita Boyle adalah bagaimanapun nikmatnya kesendirian seseorang tetap saja ia perlu orang lain karena makhluk sosial itu tato fitrah manusia.

Mulai hidangan pembuka, saya langsung sadar bahwa ini film keren. Desain produksinya split penuh warna berisi serba-serbi kehidupan dengan suntingan dan pengambilan gambar yang necis. Seperti kue lapis menu ekstrem. Mmm… memang masih déjà vu atas Slumdog juga di beberapa penggalan adegan, termasuk pada teknik gambar patah-patah--yang entah itu apa nama istilah dalam teknik fotografinya. Cuma saja di sini saya tak terpukau oleh aransemen musik A.R. Rahman. Namun cukup salut dengan olah bebunyiannya dalam menajamkan adegan Aron mengamputasi diri. Pilihan-pilihan lagunya di film ini pun membuat saya tak sangka bahwa ia musisi besar industri Bollywood. 127 Hours membuat saya “tiga-N”: ngeri, ngilu, dan nyeri. [A-] 09/05011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar