Minggu, 06 Januari 2013

Resensi Film: The Perks of Being a Wallflower (2012)

Pengalaman menonton film ini menjadi kejutan kecil bagi saya di suatu siang nan redup. Yang semula saya tak pendam harapan apapun, seketika luruh diterpa terjangan sajian plot nun personal. Ia seolah-olah ingin berkata: ini cerita kita semua, bagi yang pernah melalui masa-masa (susah-senang) transisi usia 17-an di bangku SMU. Saya beri apresiasi tinggi khususnya untuk sang strada yang bukan lain merupakan penulis versi buku sekaligus skenario filmnya. Sebuah profesi rangkap yang strategis dan fundamental.

Saya tulis di atas: ini cerita kita semua. Ya! Perks menangkap kisah-kisah menarik masa abege ala putih abu-abu. Di film ini, sudut pandang diambil dari mereka pihak yang tak populer dan nyaris tak terlihat/dilihat. Lewat satu karakter utama bernama Charlie yang baru saja memasuki sekolah jenjang menengah atas, Perks mengisahkan bagaimana susahnya mencari teman di sebuah lingkungan baru ketika kita sudah mengemban citra sebagai anak pendiam, penyendiri, dan pantas dizalimi/jadi korban.

Charlie berhasil temukan geng karib. Ia rasakan kebahagiaan, akhirnya bisa dapatkan teman. Problema selanjutnya yakni perasaan. Ia memendam rasa pada salah satu temannya, namun di sisi lain ia juga dihantui dengan bayang-bayang trauma emosional di masa kecil yang sempat membuatnya merasa mau gila. Bakatnya menulis dan kasih sayang dari keluarga mendorong Charlie untuk tetap waras.

Meskipun saya sangat merasakan lubang plot di beberapa bagian, namun berhasil tertutupi oleh adegan-adegan personal yang melukiskan pengalaman menjaring keindahan dan sensasi rasa bebas. Saya rasa, transformasi puitis berhasil diterjemahkan dari media tulisan ke dalam media audio-visual. Tentu saja hal ini didukung pula oleh faktor pemilihan lagu-lagu yang sangat pas.

Film ini tak sesederhana posternya. Ia mendalam dan reflektif. Digarap oleh penulis bukunya secara langsung membuat kita, sebagai penonton, sangat terbantu dalam meluruskan interpretasi dan visi dari versi buku. Setahu saya, jarang sekali hal ini terjadi. Saya pernah membaca sebuah artikel tentang penyutradaraan film oleh Stephen King atas cerita salah satu buku karyanya. Hasilnya, gagal total. Saya sendiri belum pernah menontonnya. Silakan saja menelusuri berita itu guna membuktikannya. Yang jelas, Perks membuktikan bahwa Stephen Chbosky sukses menjadi strada sekaligus penulis naskah film atas cerita dari buku karyanya sendiri. [B+] 05/01/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar