Saya
tulis di atas: ini cerita kita semua. Ya! Perks
menangkap kisah-kisah menarik masa abege
ala putih abu-abu. Di film ini, sudut pandang diambil dari mereka
pihak yang tak populer dan nyaris tak terlihat/dilihat. Lewat satu
karakter utama bernama Charlie yang baru saja memasuki sekolah
jenjang menengah atas, Perks
mengisahkan bagaimana susahnya mencari teman di sebuah lingkungan
baru ketika kita sudah mengemban citra sebagai anak pendiam,
penyendiri, dan pantas dizalimi/jadi korban.
Charlie
berhasil temukan geng karib. Ia rasakan kebahagiaan, akhirnya bisa
dapatkan teman. Problema selanjutnya yakni perasaan. Ia memendam rasa
pada salah satu temannya, namun di sisi lain ia juga dihantui dengan
bayang-bayang trauma emosional di masa kecil yang sempat membuatnya
merasa mau gila. Bakatnya menulis dan kasih sayang dari keluarga
mendorong Charlie untuk tetap waras.
Meskipun
saya sangat merasakan lubang plot di beberapa bagian, namun berhasil
tertutupi oleh adegan-adegan personal yang melukiskan pengalaman
menjaring keindahan dan sensasi rasa bebas. Saya rasa, transformasi
puitis berhasil diterjemahkan dari media tulisan ke dalam media
audio-visual. Tentu saja hal ini didukung pula oleh faktor pemilihan
lagu-lagu yang sangat pas.
Film
ini tak sesederhana posternya. Ia mendalam dan reflektif. Digarap
oleh penulis bukunya secara langsung membuat kita, sebagai penonton,
sangat terbantu dalam meluruskan interpretasi dan visi dari versi
buku. Setahu saya, jarang sekali hal ini terjadi. Saya pernah membaca
sebuah artikel tentang penyutradaraan film oleh Stephen King atas
cerita salah satu buku karyanya. Hasilnya, gagal total. Saya sendiri
belum pernah menontonnya. Silakan saja menelusuri berita itu guna
membuktikannya. Yang jelas, Perks
membuktikan bahwa Stephen Chbosky sukses menjadi strada sekaligus
penulis naskah film atas cerita dari buku karyanya sendiri. [B+]
05/01/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar