Pilu selalu menempel di atas permukaan
cawan bernama musibah. Liburan yang sejatinya jadi hiburan pelepas rutinitas tak
disangka membawa petaka. Itulah pengalaman suatu keluarga yang diangkat menjadi
plot berdasarkan kisah nyata dalam film ini. Mereka sedang rayakan malam natal
di salah satu resor wisata di Thailand pada 2004. Tentu masih kita ingat
peristiwa tragis mematikan apa yang terjadi di pengujung tahun itu. Tragedi tsunami di
Samudra Hindia.
Mereka datang berlima. Si ayah
(Ewan McGregor) seorang eksekutif muda, si ibu (Naomi Watts) seorang dokter
muda yang sementara henti bertugas atas nama karier si suami, dan tiga putera
sehat. Mereka cerminkan sebuah keluarga bahagia dengan sedikit percikan tak
berarti. Ketika tsunami menyapu porak-porandakan kawasan tempat mereka
bervakansi, sekejap saja pegangan hangat tangan di antara mereka terlepas, terpisah,
terhempaskan oleh gulungan bah raksasa dari lautan biru. Area pesisir indah itu
kini berisi lautan air bah deras perusak segala. Di mana si ayah, si ibu, dan
ketiga puteranya?
Apa yang selalu diharapkan
dari sebuah film berlatar musibah adalah penguras air mata atau film takziah.
Tapi, saya tegaskan di sini Impossible
bukan kacangan. Ketika kita menyaksikan adegan Naomi Watts muncul di atas permukaan
bah sambil berpegangan di satu pohon kelapa dan berteriak… Hati saya lumpuh. Itulah
potret sempurna ketika emosi jiwa tak tertahankan lagi, mendorong secara
otomatis teriakan membahana. Adegan saat tsunami menerjang adalah bagian
krusial film ini. Setelahnya, kita akan dipertontonkan drama-drama kemanusiaan
yang sebenarnya klise tapi dijamin bakal sejenak terlupakan segala kekliseannya.
Meminjam istilah dari Roger Ebert, “lautan emosi” dari film ini membuat saya
sempat termenung. Tak banyak film akhir-akhir ini yang kuat membuat hati
tergerak, meski sedepa. [B/A] 17/01/13
Saat saya iseng-iseng melihat temen-temen SMP di grup Facebook, saya teringat akan seorang teman dekat yang dulu duduk di belakang bangku meja saya, saya coba telusuri di google namanya, yang akhirnya tertuju pada sebuah blog ini, dulu saya sekolah di SMP negeri 1 Yogyakarta, satu kelas dengannya di kelas 1 dan 3, saat kelulusan, saya menempuh SMU yang berbeda dengannya, saya di SMUN 4 dan dia di SMUN 10 di kota yogya, hingga sekarang, saya tidak tahu kabarnya, apakah blog ini benar milik teman saya yang bernama Bagus Aries Sugiharta? arek banyuwangi yang pernah sekolah SMP hingga kuliah di jogja? saya Himawan Mahardianto dan bisa dihubungi melalui email di mahardianto@gmail.com
BalasHapus