Senin, 23 April 2012

Resensi Film: Taxi Driver (1976)

Dulu saya sempat membaca skripsi/tesis Seno Gumira Adjidarma yang dibukukan. Pokoknya tentang menengok skenario film terbaik FFI dari tahun ke tahun. Nah, di situ ada judul film Taksi dibintangi pasangan Rano Karno dan Meriem Bellina. Setelah mendapat judul Taxi Driver dari referensi teman, saya kontan berpikiran jangan-jangan Taksi-nya Rano merupakan jiplakan Taxi Driver? Kalau berhadapan ma film-film Indonesia saya bawaannya suudzon mulu. Mungkin juga efek traumatis dari beberapa judul film dan sinetron. Setelah berhasil menuntaskan Taxi Driver dan membaca ulang sinopsis kisah Giyon si sopir taksi dan Desi dalam drama Taksi, ternyata keduanya berbeda. Syukurlah… 


Taxi Driver termasuk film terkenal, banyak disanjung, dan jadi acuan. Entah karena faktor apa, tapi jelasnya kita harus melihat secara kontekstual, yakni seusai jiwa zamannya waktu itu. Sekilas babak awal film langsung ingatkan saya pada film-film macam Driver dan A Blueberry Night. Bukan perkara ceritanya, melainkan warna desain produksi cenderung gelap dengan pilihan tipe warna violet berpendar. Sangat khas pemandangan malam hari di bilangan plesiran kota macam bar, diskotek, dsb. Bukan tanpa maksud tentu Scorsese meramunya demikian. Kisahnya sendiri berpangkal pada sosok pemuda rupawan dengan segala misteri di dalamnya. Tak banyak kata, terkadang sinis, ada unsur kengerian jika lama-lama kita melihatnya. Karakter misterius yang diperankan De Niro itu bernama Trevor. Ia mengaku insomnia, butuh kerja tambahan, dan kesepian. Makanya ia melamar sebagai sopir taksi supaya sekalian dapat uang. 


Tak semudah membalikkan telapak tangan untuk selesaikan masalah pribadinya. Walau menjadi sopir taksi shift malam termasuk memasuki daerah hitam sekian hari bahkan masuk sebulan pun Trevor tetap terobati. Ia tetap saja merasa ajeg, monoton, dan sepi. Sejak titik inilah lalu penonton diajak berdialog mengenai apa akar permasalahan Trevor dan bagaimana solusinya. Kalau saya ditanya film ini bergenre apa tentu akan didapati waktu yang agak lama serta lamban ketika menjawabnya. Saya bisa bilang drama, ya karena film ini bukan suguhan spesial aksi baku hantam atau tembak ledak. Saya tambahi kata kriminal supaya lebih menggarisbawahi subtema dalam film ini, biar tak dikira drama menye-menye. Sebuah drama-kriminal. 


Boleh saya bilang walaupun film ini tak terasa inspiratif ketika kita menontonnya, namun berimbas panjang bekasannya. Alurnya santai, berjalan normal, tak terburu-buru, dan alamiah. Hampir saya merasa bukan produk Hollywood, lantaran premis masalahnya kurang lugas. Namun di balik segala faktor ketenangan dan tak tertebaknya itu, Taxi Driver padat. Ia menggambarkan karakter Trevor sebagai pemuda insomnia sampai-sampai frustrasi gemes atas sakitnya lingkungan. Tapi emoh masuk pelarian lembah hitam, lebih-lebih emoh hidup sekadar numpang lewat doang. Ia lebih memilih berbuat sesuatu. Apabila disadari bukankah kita sebagai penonton juga hidup dalam lingkungan seperti itu? Taxi Driver jelas salah satu karya tajam dari sineas tulen Martin Scorsese. [B/A] 22/04/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar