Senin, 02 April 2012

Resensi Film: The Aviator (2004)

Siapa yang tak tahu pesawat jumbo jenis Hercules? Setelah menonton film karya strada gaek Martin Scorsese, jadi tahu deh kisah di balik kreasi Hercules. Namun, film ini bukan mengantarkan kita pada kisah penciptaan Hercules, melainkan riwayat bapak kreatornya yang merupakan seorang pengusaha USA supertajir nan flamboyan bernama Howard Hughes. Tentang idenya, jiwanya, dan tekadnya.

Set era film ini tak jauh beda dari set The Artist. Sekitar tahun 1930-an, yang mana dunia selebritas Hollywood sempat digemparkan dengan adanya film bersuara dan terhempas tragedi depresi ekonomi. Howard yang kadung dicap sebagai seorang playboy menyimpan banyak ide fantastis. Pertama dimulai dari terjunnya ia ke dunia perfilman. Dengan latar belakangnya sebagai seorang industrialis, ia tak sedikit terima cibiran dari komunitas perfilman yang telah mapan. Sebagai kru multiposisi ya sebagai strada, ya sebagai produser, dll, Howard mengusung megaproyek film epik supermahal. Sukseskah realisasi mimpi yang biayanya turut mempertaruhkan seluruh properti miliknya ini? Kedua, problem psikologis dan cinta sedikit demi sedikit melumat kewarasannya. Ketiga, kecanduannya pada impian dunia aviasi (penerbangan) menjadi buah bibir politik tataran nasional terkait proyek Hercules-nya, mulai dari prestasi sampai isu penggelapan dana negara.

Produser The Aviator pasti memiliki tujuan khusus tentang mengapa kisah Howard diangkat dalam sebuah film cukup kolosal dengan durasi supermelelahkan, hampir 3 jam. Bagi saya, sikap Howard merupakan sebuah simbol perlawanan. Film ini menggelar sebuah ironi ambisi visioner sang penerbang yang melabrak kekuatan monopolistik. Saya menangkap aroma itu. Scorsese rata-rata membuat film tanpa kejutan berarti, tapi setruman laten di balik ide besarnya selalu membuat penonton mendapatkan sesuatu pengingat. [B+] 01/04/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar