Minggu, 08 April 2012

Resensi Film: The Kid with a Bike/Le Gamin Au Velo (2011)

Problema sosial kasus per kasus tak luput dari beragam variabel yang mengindikasikannya. Maka tak pelak lagi suatu solusi bagi satu kasus tak mungkin seratus persen sesuai diterapkan pada kasus lainnya. Saya memulai resensi ini dengan ceracau mengingat ada sesuatu yang serius dan amat empirik atas film yang akan dibahas. Sebuah karya dari negeri Napoleon Bonaparte peserta resmi kompetisi Cannes 2011.

Judul-judul macam yang dimiliki film ini terkesan eksotis sejak pertama membaca, misal saja A Boy in Stripped Pijamas (kalau tidak keliru). Saya sebelum menonton tak tahu kalau film ini masuk Cannes karena lebih karena faktor naksir judulnya. Baru pas layar pertama film diputar, ketahuanlah ia produk film festival. Terpampang jelas ikon gandum di sana. Siap-siaplah dengan sensasi handheld acapkali temui film ala festival. Walau dalam beberapa situasi agak kurang nyaman melihat film-film bersinematografi demikian, namun atmosfer yang terbangun selalu terasa jauh lebih riil secara emosional ketimbang riil semunya efek 3D.

Seorang bocah tengil (Jawa: nyebahi) selalu saja ngibrit lari entah mau kemana dan tak terkendali. Saya awalnya jengah lihat perilaku si bocah pirang karakter utama film ini yang bernama Cyril. Nakal tak nurutnya amit-amit. Di sekolah asramanya, ia langganan dikejar-kejar guru dan petugas lain. Alasannya, ia mau cari sepeda hitam miliknya. Tapi lama-lama, kita tahu apa yang ia cari melebihi sebuah sepeda, melainkan ayahnya. Sang ayah pergi tanpa pesan dari flat sewaan. Si bocah kian menggila kesana-kemari menyelidiki di mana sang ayah berada. Sampai ada suatu kejadian ketika ia dikejar-kejar di dalam sebuah klinik, si bocah menubruk perempuan secara tak sengaja yang belakangan menjadi figur penyayang pengisi kehidupan si bocah.

Film ini memotret kenakalan bocah dalam bingkai sosiografi. Macam makalah sosiologi difilmkan. Tunggu +/- 30 menit dulu baru penontonnya terhipnotis. Apa, kenapa, dan bagaimana ia bisa nakal, tak nurut, dan berontak. Satu lagi sumbangsih penting dari dunia perfilman untuk ortu atau siapapun yang peduli bocah.

Kembali ke ceracau awal saya di atas, mungkin film miskin musik latar ini (terhitung hanya ada satu komposisi musik yang diputar sebanyak empat kali sepanjang durasi) tidak menawarkan sebuah solusi. Namun kehadirannya mendorong saya mau untuk lebih memandang kompleksitas sebagai sesuatu yang harus diurai. [B+] 06/04/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar