Selasa, 17 April 2012

Resensi Film: Kramer Vs. Kramer (1979)

Film ini lepas rindu saya menonton film drama rumah tangga rebutan hak asuh anak melalui meja persidangan. Entah berapa banyak judul film bertopik serupa diproduksi Hollywood atau industri perfilman Indonesia. Saya membayangkan suami-isteri bertikai di sini diperankan oleh Rano Karno dan Meriam Bellina, jika diadaptasi dalam versi Indonesia.

Lewat poster filmnya, saya tahu film ini mendapat predikat film terbaik Oscar. Kala itu, mungkin saja film revolusioner dari segi teknis belum banyak diproduksi makanya yang diganjar hadiah Oscar waktu itu film drama berintensitas plot linier kuat, tanpa neko-neko. Kisahnya fokus pada tiga karakter utama: suami, isteri, dan anak. Melalui kemerah-merahan dan berkaca-kacanya mata Meryl Streep di hampir sepanjang film, sangat mudah bagi kita sebagai penonton menangkap dialog kebatinan bahwa sedang terjadi tekanan jiwa dalam dirinya. Kemudian masuklah karakter suami (Dustin Hoffman) yang bersemangat, ringan beban, seolah tak pernah gubris apapun selain makanan bernama pekerjaan. Dan tak ketinggalan ada seorang lagi, yakni putera mereka yang terlanjur dekat dengan sang bunda.

Mereka sebuah keluarga kecil yang tinggal dalam sebuah flat di tengah kota tersibuk di dunia, New York. Suami-isteri itu pasangan seniman grafis. Film berangkat tepat di saat kesabaran si isteri habis. Secara langsung berhadap-hadapan dengan si suami, ia nyatakan mau pergi tanpa memberi tahu ke mana dan kapan akan kembali. Ia menitipkan putera kesayangan pada si suami. Malam sebelum ia pergi pun sempat mengungkapkan rasa sayang pada putera kesayangan ketika sedang meninabobokan, sebagai pengalihan ucapan pamit.

Sebuah tanda tanya besar tentang konflik apakah yang melanda pasangan ini menjadi pikatan Kramer Vs. Kramer. Mengapa bisa sampai si isteri memilih tinggalkan suami dan putera tanpa jelaskan alasan dan terkesan begitu saja. Satu per satu lembaran friksi akan terurai, hingga tibalah masa persidangan perebutan hak asuh anak. Bagi saya pribadi, ending film jadi tak begitu penting karena ada hal menarik yang utama selain itu. Apalagi kalau bukan tentang perspektif konflik-idealisme pasutri. Banyak pertanyaan mengemuka terkait itu, seperti mengapa jika memangnya saling sayang tapi malah saling bertikai dan menyakiti? Tidakkah mereka memikirkan hak buah hati mereka?

Saya agak heran ketika film ini memilih jenis pungkasan yang kurang Hollywood. Tumben. Sebuah drama pahit-manis dengan topik bombastis namun dikemas membumi. Tanpa kualitas pemeranan Streep-Hoffman (terutama selama adegan persidangan) ditambah juga acting si bocah, saya agak meragukan film ini bisa tampil cukup kuat. [B] 15/04/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar