Selasa, 17 April 2012

Resensi Film: Laputa, Castle in the Sky/Tenkû no shiro Rapyuta (1986)

“Apa artinya jadi raja jika kerajaan telah hancur?”
Di tengah-tengah posisi terdesak, seorang gadis kecil berani berujar demikian terhadap orang sebangsanya yang mendadak ingin menguasai tanah asal setelah sekian generasi ditinggalkan. Saya seperti kehabisan kata-kata memuji karya Hayao Miyazaki. Karya-karyanya selalu relevan diputar kapanpun. Bukankah itu nilai unik bagi karya-karya melegenda. Aneh juga rasanya ketika saya melihat film kartun 2 dimensi ini ketika mengetahui diproduksi di tahun ketika saya lahir dan sekarang masih nyambung dengan situasi-kondisi sekitar. Apa selama ini tak ada perubahan atau saya yang salah menginterpretasikannya?

Laputa itu nama sebuah kastil mengambang di langit. Konon, di sana banyak sekali harta-karun. Sudah sekian lama keberadaan kastil itu disangsikan kebenarannya. Hanya beberapa yang masih menaruh perhatian pada penemuan Laputa. Mereka di antaranya: seorang ilmuwan gila penemuan, kawanan perompak udara, dan komplotan militer rakus harta karun. Dalam film ini, di antara mereka bertiga tak ada yang menjadi tokoh protagonis, malahan terjadi konflik kepentingan di antaranya. Kalau Anda suka menonton karya Hayao Miyazaki, pasti bakal bisa menebak siapa tokoh protagonisnya. Iya, pasangan bocah cowok-cewek yang tak punya kepentingan apapun terkait Laputa selain memperjuangkan keselamatan satu sama lain.

Di Indonesia atau bahkan di dunia, perfilman hampir dikuasai Hollywood sehingga selera mereka menyetir selera dasar penikmat film. Jadinya akan susah membuka diri nikmati karya-karya kurang-Hollywood. Pola skenario tiga babak, adegan besar satu per satu terjadi, ditutup akhir bahagia tentu menjadi formula wajib. Nah, dalam Laputa atau sejumlah karya Hayao Miyazaki saya merasa diajak bernafas nikmati tiap detik yang Tuhan anugerahkan kepada kita. Betapa tidak? Ya karena tidak semua adegan besar atau penting bertubi-tubi disusun Hayao guna memuaskan hasrat penonton. Jangan salah menilai bahwa itu keteledoran atau kemubaziran editing. Ada kalanya dalam beberapa adegan yang dirasa “tak penting itu” kita diajak berinteraksi dengan alam, yang mana sekarang kian jarang dilakukan. Lagu penutup film pun seraya dibuat mengajak kita mau menurunkan ego menyatu dengan alam dan sesama makhluk. [B+] 15/04/12

1 komentar:

  1. Astaga, mas bagus nonton masterpiece Studio Ghibli juga??! Mukyaaa >__<.
    Setuju banget dengan komentar di paragraf terakhir. Hayao Miyazaki selalu muncul dengan tema yg berhubungan dengan alam, penggambaran tentang tingkah anak2 juga...nyata banget! Produk Studio Ghibli hampir semuanya masuk bioskop UK dan US di bawah label Disney (walau tetap ditulis kerjasama dengan Ghibli).

    nb. Di Jepang ada museum Studio Ghibli looh..kereenn!!

    BalasHapus